Dendang Sunyi Kidung Hati
The Love Spirit of Maroner
Angin
sepoi membius Cemara
Gemericik
Setail bertabur makna
Jelajah
sukma berbalut do’a
Senandung
Maron bergema bahana
Ini sekilas kisah penggalan perjalanan yang bermula dari SMA (SMAN 1 Genteng, Banyuwangi) hingga berlabuh di kota hujan (Bogor) dan Ibukota negeri tercinta (Jakarta).
“Nilaimu
bagus, tapi sikapmu juga harus bagus…!” Begitu coretan pena dalam lembaran
kertas nilai hasil ulangan Bahasa Inggris di kelas 1 SMAN
Genteng (1981). Saya menduga tulisan itu salah
alamat, mungkin ditujukan
kepada kawan yang duduk di belakangku yang memang kadang-kadang tampil “menggoda” ibu guru yang sedang
memberikan pelajaran. Tapi saya suka juga dengan nasehat itu,
mungkin saja memang ada tingkah aneh yang harus kuperbaiki.
“Kamu
mbandel ya, berani menantang guru….!”
Gertak
Pak Muniri (guru mata pelajaran Matematika) di hadapanku dikarenakan tidak membayar
iuran perpisahan kakak kelas sebesar Rp 500,- . Mungkin beliau sudah lupa
dengan kalimat bernada hardikan itu. Waktu itu aku kelas 2. Sungguh minta
maaf atas kejadian itu, karena tidak punya uang untuk bayar iuran. Pada saat itu, untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah saya cari sendiri, orangtua pergi transmigrasi ke Lampung
sejak awal saya masuk SMA (1980).
Bisa
jadi kata maaf yang tersembul dari lubuk hati yang dalam itu telah
meluluh-lantakkan tatapan tajam seorang bapak di dihadapan anak muridnya yang
tak berdaya. Aneh tapi nyata, bermula dari kalimat bernada teguran keras itu kemudian menjelma dalam
jalinan cinta kasih yang tak bertepi. Pak Muniri mengajariku menjahit di
rumahnya di jalan Dewata, Genteng. Beliau membisikkan untaian nasehat yang tak
pernah kulupa, “Dulu bapak juga mandiri dengan menjahit sewaktu
kuliah , mudah-mudahan ini nanti bisa menjadi modalmu untuk mandiri.” Terima kasih bapak yang sangat baik hati.
Lalu
berduyun-duyunlah rombongan cinta kasih menghampiriku. Pak
Sung Masyhuri, wali kelas yang juga guru bahasa Inggris itu sepertinya mengusulkan
beasiswa. Saya mendapatkan beasiswa bebas SPP, dan jatah beras Pak Sung Masyhuri
(12 kg/bulan) dihadiahkan untukku yang pada saat itu menghuni Pondok Miftahussa’adah Maron. Almarhum pak
Zuhroni, guru Agama juga memberikan sepasang baju seragam dan sepatu. Bersyukur pada waktu itu bisa meraih juara kelas dari 42 orang, meskipun bukan juara umum dari seluruh kelas. Bisa bersekolah dalam kondisi keterbatasan ekonomi itupun sudah merupakan anugerah yang luar biasa. Selain mencari rumput pakan ternak sapi milik Pakde, saya juga buruh "nggebros" (memanen padi), mencangkul dan memanjat pohon kelapa untuk memperoleh biaya hidup sehari-hari dan kebutuhan biaya sekolah.
Beberapa hari setelah pengumuman kelulusan SMA lalu disusul dengan adanya kabar diterima kuliah di IPB melalui
jalur tanpa
test. Waktu itu namanya Proyek Perintis/PP II, tahun 1983. Ada informasi bahwa bapak/ibu guru urunan untuk membantu biaya perjalanan keberangkatanku
ke Bogor. Mereka diantaranya, yaitu Pak Sung Masyhuri, pak Muniri, pak
Suryanto MTK, pak Armanu, pak Elmi "Elteha" Genteng dan mungkin juga bapak-ibu guru lainnya gotong-royong urunan itu. Bahkan pak Armanu
(guru Kesenian)
memberiku bekal “surat cinta” yang ditujukan kepada saudaranya yang menjadi dosen di IPB (Prof. Syamsu’ud
Sadjat, Ahli teknologi benih IPB).
Setibanya di Bogor saya menelusuri lorong-lorong mencari alamat Prof. Syamsu’ud
Sadjad di Kompleks Perumahan Dosen IPB Dramaga. Saya bertemu dengan Profesor,
tapi kandas merajut surat cinta itu. Beliau menyampaikan bahwa pada saat yang bersamaan ada putrinya yang juga masuk kuliah. Tak
apa-apa! Bisik batinku sambil mengayunkan langkah kaki dari Dramaga ke
kota Bogor (sekitar 10 km).
Tuhan
maha Pengasih dan Penyayang. Inilah keyakinanku sebagai hambaNya. Man jadda
wa jada. Barang siapa bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkannya.
Itulah pelajaran dari kitab Ta’limul muta’alim yang kukaji di Pondok Pesantren Miftahussa’adah Maron-Genteng.
Tuhan menggerakkan langkahku bertemu dengan orang-orang yang sebelumnya tak
kukenal, salah satunya adalah Rektor III IPB,
bapak Dr. Norman Razif Azwar. Dan sungguh ajaib. Seolah Tuhan berbisik ke dalam hatinya.
Saya diminta datang ke ruang kantornya, diajak ngobrol dan dijamu dengan suguhan pisang goreng. Kemudian beliau memintaku untuk berkonsultasi dengan bapak Dr. Pallawaruka (Direktur TPB) untuk mengurus persyaratan beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik). Rp
25.000,- per bulan. Pada tahun-tahun berikutnya kemudian mendapatkan besiswa dari Yayasan Al-ghifari sebesar Rp 15.000,- per bulan. Sungguh sangat membantu biaya hidup dan kuliahku di Bogor.
Langkah
kaki berikutnya menuju paguyuban alumni SMA yang ada di Bogor. Dan dipertemukan dengan mbak Titik Dwi Renaninggalih (alumni SMA tahun 78/79) dan lulus IPB pada tahun 1984. Mbak Titik dan suaminya (mas Hadi Suprapto
dari Tuban) kemudian menjadi kakak angkatku di Bogor, meskipun kemudian mereka
waktu itu mendapat tugas dan tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat.
Kekuatan
cinta dan semangat jiwa telah membuahkan keajaiban-keajaiban. Bak
cerita si cebol hendak menggayuh rembulan. Anak seorang buruh tani miskin di
desa diberi kesempatan untuk lulus pendidikan sarjana di IPB.
Tak
pernah bermimpi keliling ke pelosok nusantara. Tuhan telah menuntun langkah
ini menjelajahi pelosok bumi nusantara lebih dari 30 propinsi. Setelah
lulus dari IPB aku langsung mendapatkan pekerjaan sebagai
tenaga lapangan Proyek
kerjasama IPB dengan Departemen Transmigrasi RI. Hidup bersama-sama dengan
masyarakat transmigran di berbagai wilayah propinsi, seperti Sumatra
Barat (Lunang/Silaut, kab. Pesisir Selatan,
1989-1990 dan Timpeh/Sitiung kab Sawahlunto/Sijunjung, 1994 -1995); Riau (Belilas III/Seberida, kab. Indragiri Hulu, 1990-1992); Kalimantan Tengah (Trans Tumbang Tahai, Kodya Palangkaraya, 1993); Sulawesi Tenggara ( Lambale Kulisusu/Buton Utara, 1994). Kesempatan menjelajah
negeri di berbagai propinsi lain datang silih berganti setelah bergabung dalam
LSM yang bergerak di bidang Kehutanan Masyarakat, Lembaga Alam Tropika
Indonesia/LATIN (1995-2003). Kemudian mendeklarasikan Inspirit
Innovation Circles (2004) bersama-sama kawan senior aktivis
LSM lainnya
untuk memberikan layanan sebagai fasilitator dalam mendukung pembangunan
berkelanjutan.
International
Institute of Rural Reconstruction/IIRR di Cavite, Philipina pernah memberikan
kesempatan untuk belajar bersama kawan-kawan dari berbagai negara di belahan bumi ini
selama 20 hari (29 Nop–18 Des 1998).
Mimpi
indah memang menyenangkan, tapi realita sungguh lebih mengasyikkan. Betapa
tidak? Kesempatan langka lain menghantarkanku berkunjung ke Timor Leste, negara yang baru mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 2000. Concern WorldWide, sebuah NGO internasional yang bermarkas di Irlandia
mengundangku untuk memfasilitasi tarining tentang Participatpry Rural
Appraissal
(PRA) dan Rural Sustainable Livelihood di Timor Leste
pada tanggal 4 – 15 Nopember 2002; 31 Juli – 16 Agustus 2003; 8 – 23
Oktober 2003. Kemudian Asia Forest Network/AFN yang bermarkas di Philipina juga mengundang untuk hadir dalam Regional Meeting di Davao (6–11 Desember 2004). Dan juga mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam International Workshop on Community Forestry di Pokhara, Nepal pada tanggal 13-18 September 2009.
Mimpi
belum usai! Para sesepuh telah memberikan tauladan menabur benih cinta kasih. Adakah ruang dalam diri kita untuk turut berbagi
merajut cita? Sebuah kidung hati berdendang dalam sunyi: Let’s make
life better! Mari jadikan hidup ini lebih hidup, Lasta Masta!
Tulisan
ini dipersembahkan untuk bapak ibu guru SMAN I Genteng yang telah berbagi
dengan menaburkan benih cinta kasih. Semoga juga bisa menjadi inspirasi untuk menggalang kebersamaan, berbagi bersama merajut
cita.
Suwito
Fasilitator pemberdayaan masyarakat dan penggiat perhutanan sosial untuk tata kelola pembangunan berkelanjutan. Menekuni bidang keahlian pemberdayaan masyarakat, perhutanan sosial dan resolusi konflik kawasan hutan.
Fasilitator pemberdayaan masyarakat dan penggiat perhutanan sosial untuk tata kelola pembangunan berkelanjutan. Menekuni bidang keahlian pemberdayaan masyarakat, perhutanan sosial dan resolusi konflik kawasan hutan.
Wahhhh luar biasa cerita masa kecilnya pak, salut dengan keberuntungan dan usahanya yang dahsyat. Ternyata dari Genteng to??? ujung pulau Jawa. Udah nggak mungkin pulang kampuang ya pak??? Sukses pak Wito...
BalasHapusماشاءالله
BalasHapusتابارك الله
Merinding Saya bacanya.
Salut!
BalasHapusTerus semangat utk melanjutkan berkontribusi membangun bangsa dan negara!
Terima kasih Akang Setiawan Suryana. Semoga terus tetap semangat dan almarhumah istri tercinta dilapangkan alam peristirahatannya dengan mendapatkan siraman Kasih Sayang Allah SWT.
BalasHapusCerita hidup yg menarik dan menginspirasi
BalasHapusSemoga ini bisa menjadikan support bagi adik adik yg lagi menimba ilmu di SMANSA Genteng hususnya dan semua pemuda pada umumnya, untuk tetap semangat dalam kesahajaan dalam meraih masa depan yang bermanfaat bagi banyak orang
BalasHapus