Wanatani Repong Damar : Pengelolaan Alam Lestari ala Krui – Lampung

Oleh Suwito, Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin)
Artikel ini pernah dimuat dalam Jurnal Kajian Komuniti Forestri Seri 4, Maret 2001. Lembaga Alam Tropika Indonesia.

Jika anda ingin mengajarkan pelestarian sumberdaya alam atau hutan kepada masyarakat Krui, tampaknya harus berpikir ulang.  Pasalnya sejak lebih seratus tahun yang lalu mereka telah berhasil mengembangkan pola pengelolaan sumberdaya alam secara Lestari.  Pola yang memiliki ciri khas itu mereka sebut  "khepong" atau "repong", dan terkadang ditambahkan menjadi "repong damar" sebagai penanda dominasi pohon damar dalam suatu hamparan lahan yang mereka kelola.  Khepong, yang selanjutnya ditulis repong, merupakan sebuah asosiasi tanaman pepohonan dengan struktur vegetasi kompleks yang menyerupai hutan alam. Pada umumnya struktur vegetasi tersebut didominasi oleh pohon Damar (Shorea javanica sp.) yang tergolong jenis pohon hutan (famili Dipterocarpaceae). 

Beberapa peneliti menyebut sistem itu dengan istilah wanatani (agroforest) atau kebun-hutan (forest garden).  Mereka menganggap repong damar sebagai sebuah model pengelolaan sumberdaya alam yang penting dan  unik untuk di daerah tropis. Karena dalam sistem itu masyarakat penduduk setempat menjinakkan pohon hutan liar yang secara mandiri tanpa bantuan dari pihak manapun. Disamping itu, repong damar telah mampu berfungsi memberikan jaminan terhadap kebutuhan ekonomi penduduk dengan melindungi tanah dan sumber-sumber air, serta mampu mengkonservasi sejumlah bagian besar jenis-jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan dari hutan alam. 
Keunikan itulah yang telah mempengaruhi minat masyarakat ilmiah internasional untuk memberikan perhatian yang besar terhadap keberhasilan masyarakat Krui dalam mengembangkan repong damar.  Pada Hari lingkungan Hidup tahun 1997 misalnya, Presiden RI telah memberikan penghargaan Kalpataru kepada masyarakat adat Pesisir Krui sebagai Penyelamat Lingkungan.
Tulisan ini adalah sedikit dari sebagian pengalaman penulis bergaul selama  lebih dari 3 tahun bersama-sama dengan masyarakat petani repong damar Krui.  Beberapa hal yang diangkat dalam tulisan ini, seperti sejarah singkat wanatani repong damar, tahapan-tahapan pembuatannya, tantangan yang dihadapi masyarakat, serta peran LATIN, WATALA dan lembaga-lembaga lainnya di Pesisir Krui. 
Secara geografis Krui terletak pada koordinat 103o34’” - 104o45’ Bujur Timur dan 4o 44' - 6o 00’ Lintang Selatan.  Persisnya wilayah ini diapit oleh pegunungan Bukit Barisan (sebelah Timur) dan Lautan Indonesia (sebelah Barat).  Wilayah Krui  merupakan representasi ciri-ciri alam di sepanjang pantai barat Pulau Sumatra yang membujur dari ujung Selatan sampai ke ujung Utara, yang ditandai dengan saling bertautannya antara pantai karang, pasir landai, dan perbukitan.
Secara geologis dan geomorfologis, wilayah Krui terdiri dari dataran rendah yang dimulai dari pantai sampai ke pegunungan (0 - 500 dpl), serta dataran tinggi di sepanjang pegunungan Bukit Barisan (1000 - 1500 dpl).  Dengan demikian hutan yang ada di sini dapat dikelompokkan dalam golongan hutan dataran rendah dan sebagian ke dalam hutan pegunungan bagian bawah.  Para ahli lingkungan mengatakan bahwa karakteristik mencolok hutan dataran rendah adalah keanekaragaman hayatinya yang sangat tinggi, baik flora maupun fauna.
Krui merupakan kota pelabuhan yang terletak di tengah-tengah wilayah Pesisir Krui (Pesisir Tengah), sehingga lokasinya sangat strategis sebagai pusat kegiatan perekonomian (perdagangan). Pada saat belum dibangun jalan darat yang menghubungkan Krui dengan kota-kota lainnya (Bengkulu, Bandar Lampung dan lain-lain), Krui merupakan pelabuhan besar untuk pengiriman hasil-hasil buminya.    Cengkeh dan lada merupakan komoditas hasil bumi Pesisir Krui yang terkenal sejak jaman kolonial Belanda.  Jarak kota Krui dengan ibukota Propinsi (Bandar Lampung) sekitar 300 km dan dengan ibukota kabupaten (Liwa) sekitar 30 km.   Keberadaan Liwa sebagai ibukota kabupaten belum menunjang pemasaran hasil-hasil bumi dari Krui, karena kota Krui umurnya lebih tua dan aktivitas perdagangannya lebih besar dibandingkan dengan kota Liwa. 

Wilayah administratif dan keadaan penduduk

Krui secara adminitratif, sebelum kemerdekaan RI merupakan wilayah bagian dari Karesidenan Bengkulen (Bengkulu).  Tetapi sejak RI merdeka, Krui dimasukkan ke dalam wilayah Propinsi Lampung.  Kemudian setelah kabupaten Lampung Barat berdiri pada tahun 1992, Krui menjadi bagian dari wilayah administratif Lampung Barat.  Sejak itu Pesisir Krui di bagi menjadi 3 wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Pesisir Selatan, Pesisir Tengah dan Pesisir Utara. 
Luas seluruh wilayah Pesisir (termasuk kawasan Taman Nasional) adalah 290.273 hektar dengan jumlah rumah tangga sebanyak 19.076 dan jumlah penduduk 102.413 jiwa (Satistik Lampung Barat, akhir tahun 1995).  Kepadatan penduduk rata-rata di Pesisir selatan 21,4 jiwa/km2, Pesisir Tengah 218,0 jiwa/km2 dan di  Pesisir Utara 31,2 jiwa/km2.  Jumlah desa di masing-masing kecamatan adalah 26 desa (Pesisir Selatan), 27 desa (Pesisir Tengah) dan 26 desa (Pesisir Utara).  Tidak seperti di wilayah Lampung lainnya, penduduk mayoritas Pesisir Krui adalah masyarakat adat setempat (sekitar 80 %).  Penduduk pendatang umumnya adalah perantau sebagai pedagang, pegawai, buruh (penggarap, pengunduh/pemanen hasil, kuli) dan transmigrasi lokal.

Tatanan Masyarakat Adat

Sistem kelembagaan masyarakat adat Lampung adalah Lembaga Adat Marga yang dicirikan oleh adanya batasan wilayah teritorial tertentu dan masing-masing marga memiliki kepala adat.  Batas-batas wilayah teritorial tertentu antar marga umumnya berupa batas-batas  alam seperti sungai, bukit, batu dan lain-lain) dengan pimpinan seorang kepala adat (disebut sai batin) tertentu pula.
Ada 2 macam kelompok besar tatanan adat dalam lembaga adat marga di Lampung, yaitu adat Peminggir dan adat Pepadun.  Masyarakat adat Peminggir pada umumnya menyebar di daerah Pesisir, sedangkan masyarakat adat Pepadun biasanya menyebar di pedalaman.   Masyarakat Pesisir Krui adalah masyarakat adat Peminggir yang terdiri dari 16 lembaga adat marga yang mendiami sepanjang pantai Barat propinsi Lampung dari Selatan ke Utara. 
Keberadaan lembaga adat marga ini sudah sejak pemerintahan kolonial Inggris di Indonesia, tetapi pada tahun 1953 dengan pertimbangan sepihak oleh Residen Lampung sistem marga itu dihapus.  Realitas di dalam  masyarakat adat tidak mudah berubah, meskipun telah hadir tatanan yang baru (pemerintahan desa, LKMD, LMD), tetapi sai batin sebagai pimpinan lembaga adat  tetap mendapatkan tempat yang istimewa di tengah-tengah masyarakat.  Pada saat gotong-royong misalnya, masyarakat lebih menghormati perintah sai batin atau kepala suku kampung dari pada perintah kepala desa, kepala dusun atau ketua RT.  Oleh karena itu Pemerintah Daerah Tingkat I Lampung pada tahun 1996 akhirnya mengukuhkan kembali keberadaan Lembaga Adat Marga tersebut di seluruh Propinsi Lampunng dengan SK Gubernur No: G/362/B-II/HK/1996.

Riwayat Singkat Repong Damar

Repong Damar mulai digagas dan dirintis masyarakat Krui sejak tahun 1800-an.  Dari penuturan masyarakat, alasan pembuatan repong damar tersebut adalah untuk pemenuhan kebutuhannya.  Salah satu versi cerita yang muncul di desa Pahmongan (Pesisir Tengah), yang sampai saat ini masih terdapat pohon damar tua (umurnya sekitar 150 tahun), menyebutkan bahwa nama "damar" diberikan karena getah  pohon tersebut dapat dibuat lampu penerangan (damar dalam bahasa Krui dan Jawa).  Kemudian ada seorang pedagang hasil bumi (rempah-rempah) asal desa Pahmongan yang sejak zaman kolonial dulu pernah melanglang buana sampai ke Singapura.  Pulang dari Singapura pedagang   tersebut memberitahukan kepada masyarakat bahwa damar laku dijual dan dikabarkan akan memberikan masa depan yang lebih baik bila masyarakat mau menanamnya. 
Kelak terbukti getah damar ini laku keras di pasaran dengan nama dagang Damar Mata Kucing dan banyak membuat kehidupan masyarakat Krui menjadi lebih baik.  Pemberian nama damar mata kucing diberikan mungkin karena bentuknya kristal  berwarna bening mengkilat.  Nama dagang ini untuk membedakan dengan jenis damar lainnya yang memiliki ciri dan kualitas berbeda, yaitu Damar Batu (kualitas lebih rendah).  
Sebelum pohon damar (Shorea javanica sp.) ditanam, pada mulanya masyarakat mencarinya di hutan liar, karena keberadaan getah damar tersebut  semakin lama makin berkurang,  masyarakat mulai mencoba-coba menanam di areal perladangan atau kebunnya (di sela-sela tanaman kopi, lada atau cengkeh).  Bukti bahwa masyarakat telah melakukan percobaan penanaman pohon damar tersebut adalah masih bisa dijumpai sampai saat ini beberapa pohon damar berumur lebih seratus tahun (sekitar 5-10 pohon) pada sebagian bidang kebun damar yang berumur tua.
Seorang ahli kehutanan Belanda, Rappard, pada tahun 1937 telah menemukan "hutan damar" di Krui dengan luasan sekitar 70 hektar. Dan diantara pohon damar yang ditemukan tersebut ada yang sudah berumur sekitar 50 tahun.  Kemudian pada tahun 1997, melalui interpretasi citra satelit, Hubert de Foresta (ICRAF-ORSTOM) dan kawan-kawan  juga telah melakukan penghitungan terhadap luasan repong damar, saat ini diperkirakan luasnya telah mencapai sekitar 50.000 hektar.

Tahapan pembuatan repong damar

Secara umum pola yang dikembangkan oleh masyarakat Krui dalam membuat repong damar dapat diuraikan melalui beberapa tahapan.  Zulkifli Lubis (P3AE-UI, 1997) dan Hubert de Foresta (ICRAF) mengelompokkan kedalam tiga tahapan produktif, dan saya menganggapnya sebagai kiat masyarakat Krui dalam melakukan pengusahaan hutan secara berkelanjutan.  Tiga tahapan produktif tersebut adalah tahapan darak (ladang), kebun dan repong damar.
1.  Darak (ladang) merupakan tahap awal, pada tahap ini petani mengelola tanaman padi dan palawija.  Dimulai dengan kegiatan penyiapan lahan calon lokasi repong damar.  Pada lahan yang datar hingga kemiringannya sedang umumnya masyarakat melakukan penebangan habis dan melakukan pembakaran. Tetapi pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan sedang hingga tinggi umumnya dilakukan pertimbangan yang cermat untuk melakukan penebangan sebagian pohon-pohon yang besar atau cukup melakukan penebasan tanaman semak belukarnya (pohon-pohon pendek).  Pembukaan lahan hutan tersebut umumnya dilakukan secara bergotong royong (beguwai jajama) antara sanak famili atau kerabat dekat, sedangkan Lahan hutan yang dibuka adalah hutan adat/marga.  
Tujuan pokok dari kegiatan tahap awal adalah untuk memenuhi kebutuhan subsisten, yaitu  memenuhi kebutuhan pangan untuk persiapan mengurus pengelolaan lahan pada tahap berikutnya.  Biasanya tahap ini berlangsung sekitar 1-2 tahun (1kali panen padi dan 1 kali palawija).  Tahun pertama untuk penyiapan lahan dan penanaman padi, kemudian tahun ke-2 setelah panen padi langsung ditanami palawija dan sayur-sayuran. Bersamaan dengan penanaman palawija dan sayur mayur, petani juga mulai menanam pohon pelindung (pohon dadap).  Ada juga yang tidak menanam palawija, tetapi langsung menanam pohon Dadap dan penyemaian bibit kopi.
2.  Tahap kedua yaitu kebun, pada tahapan ini masyarakat melakukan penanaman dan pemeliharaan tanaman muda yang ditujukan untuk kepentingan komersial. Tanaman yang biasa dipelihara adalah kopi, lada atau cengkeh. Tahun ke-5 atau ke-6 (dari tahun pembukaan) kopi sudah mulai berbuah dan bisa dipanen. 
Tahapan ini oleh masyarakat Krui disebut sebagai  batin kejutan, yaitu fase yang memberikan kemungkinan bagi petani untuk mendapatkan penghasilan tunai dalam jumlah yang besar, biasanya berlangsung sekitar 10 hingga 15 tahun.  Dari hasil panen kebun inilah umumnya petani dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya monumental, misalnya membangun atau merenovasi bangunan rumahnya, mengawinkan anak, naik haji dan lain-lainnya.  Bahkan pada saat produksi cengkeh melimpah pada tahun 1970-an banyak petani yang berhasil naik haji, sehingga mendapatkan julukan  "haji cengkeh".
3.  Tahap yang ketiga adalah repong damar, yaitu tahapan pengelolaan kebun campuran yang terdiri dari pohon buah-buahan (durian, duku, petai, jengkol), pohon damar dan pohon kayu-kayuan lainnya.  Tahapan repong damar ini mulai produktif kira-kira pada tahun ke-20 sejak pembukaan lahan. 
Sebenarnya tahapan repong damar telah mulai dirintis oleh petani dengan penyiapan (penyemaian) bibit damar dan buah-buahan sejak sekitar tahun ke tiga dari tahapan kebun (tahun ke-4 atau ke-5 dari tahun pembukaan). Bibit damar dan buah-buahan tersebut kemudian ditanam sebagai tanaman susulan di sela-sela tanaman kopi atau lada. Pada saat kopi belum berbuah, petani bisa mendapatkan hasil dari tanaman berumur pendek yaitu berupa sayur-sayuran dan buah (pepaya, pisang, dan lain-lainnya). Jadi hasil dari tanaman kebun (kopi, lada dan buah-buahan) bisa diperoleh petani sambil "menunggu" datangnya masa repong damar produktif. 
Pohon kayu-kayuan yang bermutu untuk bahan bangunan rumah biasanya juga ada yang ditanam atau memelihara biji tumbuh dalam bidang kebunnya (kiriman/sisa makanan) burung atau hewan-hewan lainnya (kera, siamang, rusa). Tahapan repong damar adalah tahapan final, artinya petani akan mempertahankan keberadaannya secara terus-menerus sampai diwariskan kepada anak cucu.  Bila ada pohon yang tidak produktif atau tumbang/roboh oleh terjangan angin yang besar, maka langsung dilakukan penanaman penyusulan bibit damar atau bibit pohon lainya sebagai pengganti pohon yang "rusak".
Pola yang dikembangkan secara konsisten oleh sebagian besar masyarakat di Pesisir Krui tersebut (mulai dari pembuatan ladang hingga menjadi repong damar) diberi julukan (nama baru) oleh "Tim Krui" sebagai Pola Wanatani Repong Damar (PWRD).  Tim Krui adalah sebuah konsorsium informal dari lembaga-lembaga yang memiliki perhatian khusus terhadap repong damar Krui. Lembaga-lembaga yang aktif  adalah ICRAF (International Center Research Agro forestry), ORSTOM (Lembaga Ilmiah Perancis), CIFOR, P3AE-UI, LATIN, Keluarga Pencinta Alam dan Lingkungan Hidup WATALA (Bandar Lampung), Ford Foundation dan PusLitbang Kehutanan.

Nilai ekonomi repong damar

Faktor ekonomi rupanya menjadi alasan dominan yang mendorong  perkembangan pengelolaan repong damar.  Dari hasil wawancara dengan para pedagang di berbagai desa,  dalam kondisi normal hasil produksi damar di Pesisir Krui bisa mencapai sekitar 500 - 600 ton per bulan.  Menurut data statistik di kanwil Perdagangan Propinsi Lampung sebanyak 200 - 300 ton damar tiap bulan di ekspor ke berbagai negara dari Pelabuhan Bandar Lampung. 
Disamping tujuan ekspor, sebagian produksi damar juga dipasarkan ke berbagai daerah di sekitar Jabotabek dan Jawa Tengah.  Getah damar tersebut umumnya digunakan untuk bahan industri cat, vernis, lak, korek api dan batik.  Menurut Levang (1992) kurang lebih 79 % dari jumlah penduduk yang tersebar di 66 % wilayah Pesisir krui memiliki kebun damar.  Misalnya di desa Pahmongan, salah satu produsen damar terbesar di Krui, 71,3 % pendapatan penduduk berasal dari kebun damar.  Dalam setiap bulan produksi damar di desa Pahmongan bisa mencapai sekitar 60-70 ton.
Dari pengamatan lapangan didapatkan bahwa fluktuasi harga damar dipengaruhi oleh pasokan (produksi) damar dan fluktuasi nilai dolar Amerika.  Harga damar turun pada saat produksi damar melimpah dan stok menumpuk di tingkat pedagang eksportir Bandar Lampung, dan begitu juga sebaliknya.  Sedangkan pengaruh nilai dolar Amerika terhadap fluktuasi harga damar didapatkan dari hasil pangamatan sebagai berikut; Pada bulan Agustus - September 1995 nilai 1 US dolar sekitar Rp 2200, harga damar di Krui sekitar Rp 1200, kemudian pada bulan Desember 1997-Januari 1998 nilai 1 US dolar sekitar Rp 10.000, harga damar di Krui berkisar antara Rp 5000, - Rp 6000,- .  Jika petani memiliki satu bidang repong damar (sekitar 1 hektar) dengan pohon damar sekitar 100 pohon, biasanya menghasilkan getah sekitar 200 - 300 kg/ per bulan. 
Pemanenan getah damar biasanya dilakukan sekitar satu bulan sekali.  Ada juga yang memanen 2 kali dalam sebulan, tetapi frekwensi pemanenan 2 kali sebulan ini berpengaruh terhadap kualitas damar (belum mengkristal, masih lunak dan mudah lengket dengan kotoran/kulit kayu).  Menurut cerita petani, biasanya produksi damar menurun pada saat musim kemarau panjang, karena pada musim ini pohon damar sedang berbunga dan berbuah.  Ketika pohon damar berbunga dan berbuah penurunan produksinya sangat tajam, bisa turun sekitar 50 - 60 % dari kondisi normal.  Pada saat itu biasanya juga diikuti musim buah duku, pendapatan dari hasil panen buah duku ini dapat menutupi dari berkurangnya hasil dari getah damar.  Disamping itu, buah petai dan durian juga memberikan kontribusi pendapatan yang sangat berarti bagi petani.  Beraneka ragamnya hasil dari repong tersebutlah yang menjadi alasan kuat untuk mempertahankan repong damarnya, disamping juga rutinnya pendapatan dari penjualan damar tiap bulan. 

Nilai ekologi repong damar

Bagi para ahli ekologi yang pernah berkunjung atau melakukan penelitian di Krui,  aktivitas masyarakat dalam repong damar ini diangga sebagai  fenomena yang unik dan sangat menakjubkan.  Terlebih lagi bila dibandingkan dengan opini yang selalu menempatkan masyarakat sebagai "perambah hutan" yang berkonotasi merusak.  Menurut Hubert de Foresta, ekolog dari perancis (peneliti ICRAF-ORSTOM), Repong damar telah mampu berfungsi sebagai fungsi hutan.  Repong mampu mengkonservasi tanah dan tata air, keanekaragaman hayatinya tinggi dan dapat menjaga kelestarian (sebagai zona penyangga) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). 
Pada musim kemarau panjang tahun 1997, banyak sekali  peristiwa menarik yang berkaitan dengan fungsi repong damar sebagai pengelolaan hutan yang lestari.  Misalnya, di sekitar kawasan hutan lindung dan taman nasional yang tidak memiliki repong damar di luar  Pesisir Krui (kecamatan Sumberjaya/Lampung Barat, kecamatan Wonosobo/ Tanggamus dan Bukit Kemuning/Lampung Utara) telah terjadi beberapa kali serangan harimau ke pemukiman penduduk dan memakan korban jiwa.  Peristiwa tragis yang menelan korban jiwa manusia tersebut tidak terjadi di wilayah Krui.
Ada juga kejadian unik yang menarik perhatian banyak orang, beberapa ekor gajah keluar dari taman nasional, uniknya gajah-gajah tersebut tidak merusak di desa Pahmongan (repong damarnya cukup luas).  Tetapi ketika kelompok gajah tersebut pindah ke desa lain yang repongnya tipis dan tidak luas (desa Balai kencana) mereka mengamuk dan merusak tanaman kebun pekarangan penduduk.  Peristiwa pengrusakan tanaman pekarangan dan kebun oleh gajah tersebut juga terjadi di sekitar Ngambur dan Bengkunat yang sebagian lahannya telah dikonversi oleh perusahaan pengembang perkebunan kelapa sawit dan menjadi lokasi transmigrasi lokal.

Nilai sosial repong damar

Sebagaimana telah diuraikan dalam tahapan pembuatan repong damar, sejak awal pembukaan lahannya sebuah bidang damar telah melibatkan banyak orang (beguwai jajama).  Petani Krui mengenal adanya institusi ketulungan dan bebelinan yang memungkinkan petani mengelola lahan dengan bantuan orang lain (Lubis, 1997). Bukan hanya dalam sebidang kebun, beguwai jajama juga di lakukan pada beberapa bidang kebun dalam suatu hamparan yang luas.  Bukti monumental dari semangat kebersamaan tersebut telah diwujudkan dengan cara memberikan nama pada setiap kelempok hamparan lahan yang dibuka dalam suatu kurun waktu yang sama.  Sekelompok hamparan bidang kebun yang dibuka bersama-sama tersebut disebut atar.  Mereka memberikan nama khusus pada setiap atar sesuai dengan peristiwa yang pernah terjadi pada saat pembukaan atau sesuai dengan lingkungan fisik di dalam atar tersebut.  Misalnya atar Kakabu (karena dalam atar tersebut dijumpai pohon kapok randu/ kakabu dalam bahasa krui), atar Batu Bulan, atar Kubu Seng, Atar Tudung Langkut, atar Kayu Agung dan lain-lainnya.
Semangat kebersamaan tersebutlah yang dikemudian hari oleh generasi berikutnya (penerima warisan) dianggap sebagai nilai luhur yang harus dihormati, seningga mereka menempatkan repong damar sebagai harta pusaka yang harus dijaga dan diselamatkan.  Bagi si anak sai tuha laki-laki (anak tertua laki-laki) yang berhak menerima warisan, memikul beban tanggung jawab kepada adik-adiknya sampai bisa mandiri (menyekolahkan, mengawinkan dan melindungi sampai adik-adiknya mampu hidup mandiri). Bagi adik yang tidak mendapatkan warisan repong damar akan terdorong untuk membuat repong yang baru.  Mereka akan merasa sangat berdosa jika mewariskan "kemiskinan" kepada anak cucunya.
Pada peristiwa kemarau panjang tahun 1997 juga masih tampak refleksi "semangat kebersamaan" tersebut dalam menanggulangi kebakaran "hutan damar".  Jika di luar wilayah Krui terjadi kebakaran hutan yang hebat dan luas, hal demikian tidak terjadi di kawasan hutan damar Krui.  Memang ada repong yang mengalami kebakaran, tetapi tidak sampai meluas dan bisa ditanggulangi secara mandiri oleh masyarakat.  Di desa Pahmongan, misalnya terjadi sekitar 3 kali kebakaran di tempat yang terpisah, dalam masing-masing bidang repong yang terbakar itu luasnya tidak lebih dari 2 hektar.  Begitu juga yang di desa lainnya yang memiliki repong damar yang tebal dan luas (desa Penenghaan Laay dan desa Gunung Kemala).  Semangat kebersamaan dan rasa memiliki tanggung jawab yang kuat terhadap "harta pusaka" itulah yang mampu menggerakkan mereka untuk mengendalikan setiap potensi yang mengancam keberadaan repong damar.
Nilai-nilai ekonomi, ekologi dan sosial tersebutlah yang merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap kelestarian atau keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam dengan pola wanatani repong damar di Krui.

Potensi ancaman kelestarian repong damar 

Ada beberapa masalah yang memiliki potensi kuat untuk mengancam kelestarian repong damar, antara lain ; fluktuasi nilai/harga damar yang sulit dikendalikan oleh petani; Ancaman konversi oleh pihak lain; Pengalihan status kawasan sebagian areal repong damar menjadi kawasan hutan negara (Hutan Lindung/HL dan Hutan Produksi Terbatas/HPT).

Fluktuasi nilai/harga damar 

Pada tahun 1960-an pernah ada ancaman psikologis yang dilakukan oleh pedagang besar di Jakarta kepada pedagang Krui, yaitu adanya damar ("resin") sintetis yang mungkin akan menjadi pesaing damar alam.  Resin sintetis tersebut bisa didapatkan dari hasil sampingan  proses kimiawi pengolahan minyak mentah.  Ancaman tersebut cukup berpengaruh pada harga  damar saat itu dan juga pernah berpengaruh pada "orientasi" sebagian petani di kemudian hari. 
Pada tahun 1970-an ketika cengkeh lebih memberikan keuntungan dibanding damar, sebagian petani ada yang mengkonversi total repong damarnya menjadi kebun cengkeh.  Tetapi kemudian cengkeh juga mendapatkan pukulan harga dan penyakit ganas pada tahun 1980-an, akhirnya mereka kembali mengubahnya menjadi repong.  Pengalaman pahit mengkonversi repong tersebut sangat membekas bagi petani, Pak Darsan (Petani di desa Pahmongan/ Ketua Kelompok Tani Damar Lestari) mengatakan; "nuakh malasa nanom khamokhak".  Maksudnya adalah menebang (nuakh) pohon yang  pasti memberikan manfaat (malasa=nangka, simbolis untuk pohon yang  memberikan bermanfaat), baru kemudian menanam biji muda (nanom=menanam, khamokhak= yang muda), alangkah lamanya menunggu berhasilnya biji muda yang baru ditanam tersebut, dan apakah biji yang baru ditanam itu pasti berhasil? Oleh karena itu perlu dilakukan penanaman (sulaman) terlebih dahulu, sebelum melakukan penebangan saat ada keperluan.
Tentang adanya ancaman  oleh nilai fluktuasi harga damar yang tidak menentu, Latin pernah  mempelajari tataniaga damar sampai di tingkat eksportir.  Dari pengamatan pasar tersebut dapat disimpulkan, bahwa pedagang eksportir berperan sangat dominan terhadap penentuan harga damar.  Pada saat stok damar menumpuk digudangnya, permintaan damar terhadap pedagang pengumpul di Krui dikurangi bahkan diturunkan harganya. 
Setelah mempelajari hal tersebut, Latin berusaha mencoba mencari mitra untuk melakukan terobosan pasar ekspor.  PT Ikamuda Internasional bersedia menjadi mitra Latin dengan penentuan harga yang transparan sampai pada tingkat importir (Itochu, Nagoya-Jepang).  Percobaan tersebut dilakukan pada kurun waktu bulan September - Oktober 1995.  PT Ikamuda difasilitasi untuk membeli damar ke pedagang Krui dan selanjutnya Pedagang Krui bekerja sama dengan petani damar di beberapa desa di Krui.  Kegiatan percobaan ekspor damar yang di kemas (packing) langsung dari Krui ini berhasil mendongkrak harga lokal.  Sebelum pembelian dilakukan, harga damar asalan di Krui berkisar antara Rp 1050 - Rp 1100,-.  Pada saat bercobaan ekspor tersebut dan hari-hari berikutnya harga damar naik menjadi Rp 1200 - Rp 1250,-.
Disamping mencoba memfasilitasi percobaan terobosan pemasaran damar tersebut, Latin juga memfasilitasi petani untuk belajar mensortir (grading), kepada salah satu kelompok tani damar di desa Malara (Pesisir Utara).  Perbandingan nilai harga damar asalan dan sortiran (kelas A dan B/kualifikasi ekspor) di Krui pada saat itu, jika harga damar asalan Rp 1200,- harga damar sortir kelas A Rp 1600,-.  Dampak dari kegiatan belajar tersebut adalah petani di beberapa desa sudah mulai melakukan sortir damar yang akan dijual (sebelumnya tidak pernah, sortir hanya di lakukan oleh pedagang pengumpul besar dan eksportir), begitu juga pedagang pengumpul besar di Krui akhir bersedia membeli damar sortiran tersebut (sebelumnya juga tidak pernah).
Ancaman konversi oleh pihak lain.
Pihak Pemeritah daerah tampaknya belum berhasil mengidentifikasi potensi repong damar sebagai kegiatan usaha ekonomi yang menguntungkan masyarakat dan berkelanjutan.  Hal ini terjadi karena selama ini belum pernah dilakukan pendataan potensi dengan baik, sehingga Pemda belum melihat kontribusi yang berarti dari repong damar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lampung Barat.  Oleh karena itu, pada RTRWK Lampung Barat tidak muncul adanya potansi repong damar dan arealnya diperuntukkan pengembangan perkebunan sawit.  Sejak tahun 1993 Pemda telah mengundang 2 perusahaan pengembang kelapa sawit untuk investasi di wilayah Krui, yaitu PT Karya Canggih Mandiri Utama (KCMU) dan PT Panji Padma Lestari (PPL).
PT KCMU mendapatkan areal konsesi seluas 25.000 hektar di kecamatan Pesisir Selatan.  Pada mulanya kehadiran perusahaan tersebut ditolak oleh sebagian besar masyarakat, mereka mengajukan keberatan kepada DPRD TK I Lampung Tetapi karena pendekatan masyarakat tersebut tidak berhasil, akhirnya mereka melampiaskan kemarahannya dengan membakar  base camp perusahaan (PT KCMU).  Masyarakat di desa-desa lainnya (Marga Ngaras dan Ngambur) juga melakukan penolakan dan perlawanan kepada PT KCMU yang dikemudian hari terbukti merusak repong damar masyarakat.   Dari luas areal konsesi 25.000 hektar tersebut hingga saat ini PT KCMU baru mampu merealisasikan penanaman kelapa sawit sekitar 6.000 hektar ( kurang dari 30 % dalam kurun waktu lebih dari 4 tahun).  Pada hal dukungan Pemerintah daerah dan aparat keamanan kepada PT KCMU telah mendorong masyarakat (sekitar 128 orang) untuk mencari keadilan di KOREM, POLDA, LBH dan KOMNAS HAM.  
PT Panji Padma Lestari (PPL) juga mendapatkan konsesi areal pengembangan kelapa sawit dari Pemda sekitar 17.000 hektar di kecamatan Pesisir Utara dan Pesisir Tengah.  Namun penolakan dan perlawanan masyarakat sangat kuat.  Secara beramai-ramai (sekitar 500 orang dari lima desa di Pesisir Utara) menolak dengan tegas ajakan (penyuluhan) Camat dan wakil perusahaan yang didampingi oleh aparat keamanan.  PT PPL hanya mampu merealisasikan rencananya sampai pada tahap pengukuran (penyiapan lahan).  Masyarakat di 5 desa tersebut menolak kehadiran Tim pengukur lahan dari BPN dan PT PPL.
Usaha penolakan dan perlawan masyarakat terhadap rencana konversi repong damar tersebut akhirnya didukung oleh Menteri LH dengan mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan Penghargaan Kalpataru kepada masyakat adat Pesisir Krui.  Penilaian KLH tersebut berdasarkan usulan dari lembaga-lembaga yang tergabung dalam Tim Krui.  Dukungan kepada masyarakat ini juga diberikan oleh WALHI dan LBH.  Di kemudian hari strategi yang ditempuh oleh Tim Krui, LBH dan Walhi tersebut berdampak positip, PT PPL dan KCMU kegiatannya dihentikan oleh  Gubernur.

Pengalihan status kawasan

Sejak tahun 1935 Pemerintah kolonial Belanda telah membuat batas wilayah tanah adat dengan Hutan Suaka (sekarang menjadi  TNBBS) dengan tanda batas yang dikenal oleh masyarakat dengan nama  BW.  Meskipun sebagian repong damar masyarakat ada yang masuk dalam BW, namun mereka mematuhi ketentuan batas BW tersebut.  Mereka hanya membuka hutan dalam wilayah tanah adat/marga (di luar BW).  Mereka memahami ketentuan larangan berladang atau berkebun di dalam Hutan Suaka (TNBBS) tersebut sebagai Hutan Kawasan yang tidak boleh dibuka.
Pada tahun 1972, Menteri pertanian menunjuk sebagian kawasan hutan (adat/marga) di Pesisir Krui sebagai areal kawasan hutan negara.  Kemudian pada tahun 1976 areal tersebut ditunjuk sebagai areal konsesi HPH PT Bina Lestari.  Tentu saja semua penunjukan itu tanpa sepengetahuan masyarakat. Dalam realisasinya PT Bina Lestari hanya mampu mengeksploitasi sebagian kecil dari areal konsesi tersebut.  Hanya di bagian sebelah ujung selatan wilayah Pesisir Krui (marga Bengkunat dan Ngaras).  Karena PT Bina Lestari bermasalah dengan masyarakat dan Taman Nasional, akhirnya Dephut mencabut izin HPH-nya.
Berdasarkan TGHK Propinsi Lampung tahun 1990, "kawasan hutan Pesisir Krui" kembali ditunjuk Menteri Kehutanan sebagai Hutan Produksi Terbatas "Eks HPH PT Bina Lestari".   Inhutani V diberi wewenang untuk mengelola dan "merehabilitasi" areal Eks HPH tersebut, tentu saja juga tanpa sepengetahuan masyarakat setempat.  Sebagian dari areal tersebut juga dialihkan fungsinya menjadi Hutan Lindung.  Masyarakat baru mendapatkan "penyuluhan" dari Tim Kehutanan pada tahun 1992.
Kemudian pada tahun 1993 - 1996 Kehutanan melakukan kegiatan pemancangan Tata Batas Kawasan Hutan Pesisir Krui yang akan dikukuhkan secara hukum sebagai Kawasan Hutan Negara (Selama penunjukan areal tersebut sejak tahun 1972 belum pernah dilakukan pemasangan Tata Batas). Pada saat dilakukan pemancangan Tata Batas itulah baru muncul masalah pengalihan status kawasan, masyarakat resah dan bertanya-tanya tentang status repong damarnya.
Masyarakat akhirnya mengajukan tuntutan keberatan terhadap pengalihan status kawasan  tanah adat yang digunakan untuk mengelola repong damar tersebut.  Baik melalui surat langsung kepada Menteri Kehutanan dan instansi terkait lainnya, maupun melalui forum-forum pertemuan formal.  Masyarakat menuntut agar batas Kawasan Hutan dikembalikan seperti semula, yaitu batas BW.
Tim Krui  melihat fenomena itu sebagai potensi yang akan mengancam kelestarian repong damar.  Jika masyarakat tidak mendapatkan kepastian hukum terhadap wilayah yang diakses, dikhawatirkan mereka akan segera mengakhiri riwayat repong damarnya.  Diduga masyarakat akan tidak mau memelihara atau menjaga kelestarian repongnya, jika kawasannya "dikuasai" oleh pihak lain.  Terlebih lagi di propinsi Lampung sering terjadi pengusiran "pengeluaran paksa" masyarakat dari areal kebunnya yang ternyata merupakan register kawasan hutan, seperti yang terjadi di Gunung Balak, Pulau Panggung dan desa Dwi Kora.
Pendekatan yang ditempuh Tim Krui adalah memfasilitasi masyarakat dan pemerintah untuk duduk bersama-sama melakukan dialog-dialog.  Pada tahun 1995 diselenggarakan Seminar Sehari tentang "kebun damar sebagai model hutan rakyat" yang melibatkan masyarakat dan pejabat pemerintah daerah dari berbagai instansi.  Sasarannya adalah mengajak semua pihak untuk mengetahui apa yang telah diperbuat oleh masyarakat Krui dan memfasilitasi petani untuk mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapinya dalam mengelola repong damar.  Sungguh aneh, ternyata pemahaman pemerintah terhadap repong damar masih minor.  Banyak pejabat Kehutanan yang meragukan "kepiawaian" masyarakat dalam menanam damar, sebab diakui oleh ahli kehutanan bahwa budidaya tanaman hutan dari famili Dipterocarpaceae itu sangat sulit.  
Dikemudian hari, Tim Krui terus aktif berdiskusi dengan pemerintah untuk sama-sama memahami prestasi petani dalam membangun repong damar dan persepsinya terhadap kawasan yang dikelola.  Di lapangan, Latin dan Watala memfasilitasi masyarakat untuk mengidentifikasi potensi dan permasalahannya.  Strategi yang ditempuh adalah melakukan penguatan kelembagaan petani dan membuat peta secara partisipatif.  Pemetaan secara partisipatif dilakukan untuk mengidentifikasi Tata Guna lahan yang dikembangkan oleh masyarakat dan menelusuri sejarah pembuatan atar sebagai basis awal kegiatannya.  Peta ini dipakai sebagai alat untuk komunikasi dalam dialog dengan berbagai pihak agar memahami keberadaan sistem repong damar.
Pada bulan Juni 1997 kembali diselenggarakan pertemuan antara masyarakat dengan pemerintah dalam sebuah diskusi Panel.  Peserta dari Pemerintah meliputi pejabat dari jajaran Kehutan Pusat sampai TK II, Bappeda dan instansi terkait lainnya.  Disamping diskusi dalam ruangan, juga dilakukan kunjungan lapangan di desa Pahmongan.  Dengan bantuan peta desa yang dibuat secara partisipatif, masyarakat menceritakan sejarah pembuatan repongnya.  Masyarakat tetap kukuh menuntut pengembalian batas Hutan Kawasan seperti semula ke BW.
Dalam sesi akhir diskusi panel tersebut disampaikan "rumusan hasil diskusi" yang dibuat oleh Kehutanan.  Salah satu poin jawaban yang ditujukan untuk menjawab tuntutan masyarakat tersebut adalah akan diterapkannya model "Hutan Kemasyarakatan" di Krui.  Melihat "keganjilan" itu, akhirnya ICRAF yang merasa memiliki bertanggung jawab terhadap kelestarian repong damar kembali melakukan pendekatan kepada Menteri Kehutanan.
Dikemudian hari, Menteri Kehutanan Jamaludin Suryohadikusumo menetapkan keputusan baru perihal repong damar Krui yang berada di dalam Kawasan Hutan sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI) dengan SK No. 48/Kpts-II/1998 tanggal 23 Januari 1998.  Prinsip atau jiwa dalam SK KDTI tersebut adalah mengakui keberadaan repong damar sebagai budidaya masyarakat Krui secara mandiri dan telah mampu berfungsi sebagai fungsi hutan, repong damar tersebut dapat diwariskan kepada anak cucunya dan repong damar yang berada di luar kawasan hutan menjadi hak milik penuh masyarakat.
Tim Krui menilai dalam SK tersebut sudah banyak tercermin kemajuan sikap pemerintah untuk mengakui keberadaan repong damar masyarakat Krui.  Hanya saja yang mungkin masih menjadi ganjalan bagi masyarakat adalah tidak dilepaskannya kawasan hutan negara di luar BW (lokasi sebagian besar repong damar) menjadi areal hak budidaya masyarakat secara penuh.  Menyikapi keputusan KDTI, Tim Krui tetap netral (independen) dan terus mengupayakan terlaksananya dialog antara masyarakat dengan pemerintah sehingga tercipta hubungan yang harmonis.  Target yang ingin dicapai adalah terciptanya rasa aman bagi masyarkat dalam mengelola repongnya, sehingga repong tersebut tetap mampu berfungsi sebagai hutan yang lestari dan terjaminnya kesejahteraan masyarakat.

Bogor, 28 Mei 1998
Suwito 

*Dipublikasikan oleh: Jurnal Seri Kajian Komuniti Forestri Seri 4 Tahun Kedua, Maret 2001


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas tentang Penganugerahan Satyalancana Wira Karya

Dendang Sunyi Kidung Hati