Peluang dan Tantangan Restorasi Kawasan Konservasi Melalui Kemitraan Konservasi
Latar belakang
Indonesia
dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah sebagai modal dasar pembangunan
nasional. Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, atau lebih dikenal dengan
sebutan keanekaragaman hayati, merupakan bagian terpenting dari sumberdaya
alam, yang terdiri atas keanekaragaman tipe ekosistem, keanekaragaman jenis
flora dan fauna, serta keanekaragaman sumberdaya genetik. Keanekaragaman hayati
tersebut mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup,
yang kehadirannya tidak tergantikan, dan mempunyai kedudukan serta peranan
penting bagi kehidupan manusia.
Oleh karenanya, upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya menjadi penting, karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur
keanekaragaman hayati akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat, yang
tidak sepadan jika dinilai dengan materi dan pemulihannya tidak mudah untuk
dilakukan. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE)
merupakan unit kerja di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) yang mendapatkan mandat untuk memangku dan/atau mengelola secara
langsung kawasan kawasan konservasi.
Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari berbagai isu sosial, budaya dan ekonomi masyarakat
yang berada di desa-desa sekitarnya. Luas
kawasan konservasi berupapa daratan (hutan)
dan perairan di Indonesia sekitar 27.108.486,54 hektar. Dari luasan tersebut
berupa areal lahan (daratan) kawasan hutan konservasi sekitar sekitar 21.948.177,28 hektar dan terdapat areal
terbuka (open area) sekitar 2.235.827,04
hektar (10,19%). Selain akibat dari adanya perambahan untuk lahan garapan, pengelolaan
kawasan hutan konservasi juga terdapat tumpang tindih (konflik tenurial) dengan
masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat. Terdapat sekitar 6.381 desa di
sekitar kawasan konservasi dan dari analisis spasial ditjen KSDAE terdapat
usulan wilayah adat di kawasan konservasi seluas 1.646.155,12 hektar (Dirjen
KSDAE, 2018)[1].
Tata
kelola kawasan konservasi dan keanekaragaman hayati harus dilakukan secara
efektif dan bijaksana untuk kepentingan generasi kini dan mendatang. Pengelolaan kawasan
konservasi juga tidak bisa mengabaikan
Kebijakan Prioritas (Nawacita) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI (Periode
Kabinet Kerja, 2014-2019). Oleh karena itu Ditjen KSDAE telah menggagas
ruang-ruang diskursus kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan kolaboratif di
tingkat tapak bersama para pihak pemangku kepentingan.
Pada tataran kebijakan atau regulasi telah disusun
Peraturan Dirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi, yaitu kerjasama antara
unit pengelola kawasan atau pemegang ijin pada kawasan konservasi bersama
masyarakat setempat dengan prinsip-prinsip saling menghargai, saling percaya
dan saling menguntungkan. Sedangkan pada
tingkat tapak juga sedang berproses berbagai inisiatif pelibatan masyarakat
setempat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Direktur Jenderal KSDAE dalam Rapat Koordinasi Teknis
Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di Jakarta pada tanggal 26
September 2017 menyatakan, bahwa akan menggunakan cara baru dalam mengelola
kawasan konservasi dengan pelibatan masyarakat yang berada di pinggir atau di
dalam kawasan konservasi. Cara baru kelola kawasan konservasi ini juga sebagai
upaya untuk menemukan model kelola kawasan konservasi yang didasarkan pada
nilai-nilai adat dan budaya masyarakat setempat.
Peluang Restorasi “Besitang”
Besitang adalah nama kecamatan di Kabupaten Langkat, Sumatera
Utara. Desa-desa yang masuk dalam wilayah kecamatan ini merupakan desa-desa
penting bagi kawasan Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL), karena berbatasan
langsung dengan taman nasional. Besitang merupakan kawasan sangat penting,
karena terdapat keterwakilan hutan hujan dataran rendah kaya keragaman hayati
di TNGL. Hutan dataran rendahnya merupakan daerah persinggahan gajah dari
wilayah Lesten, Gayo, dan Aceh Tenggara.
Besitang
menjadi sangat penting juga karena kawasan ini dapat menjadi pelajaran
bagaimana resiko kawasan taman nasional yang tidak dikelola di lapangan dalam
waktu yang cukup lama. Walaupun batas-batasnya sangat jelas dan masih tegak
berdiri, penebangan kayu ilegal, perambahan dan penyerobotan lahan adalah
cerita sehari-hari di kawasan ini. Pada dekade 1990-an usaha penegakan hukum
pernah dilakukan melalui operasi pemberantasan perambahan dan illegal
logging. Namun usaha itu
bersifat sporadis. Tanpa tindak lajut manajemen yang rutin di lapangan, secara
bertahap dan sistematis, kawasan konservasi ini diduduki kembali oleh
’kelompok-kelompok’ masyarakat. Tanpa pengelolaan dari Taman Nasional, Besitang
menjadi daerah terbuka yang dapat diakses oleh siapapun (open access).
Besitang seperti tidak dimiliki atau dikuasai oleh siapapun tetapi sekaligus
juga merupakan milik setiap orang (Wiratno, 2012)[2].
Permasalahan Besitang telah terjadi dalam
kurun waktu lebih dari tiga dekade. Persoalan tersebut diawali sejak tahun
1977, ketika dicetuskan “Pilot Proyek Pembinaan Habitat dan Populasi Satwa
Sikundur.” Pada pelaksanaannya proyek tersebut telah menimbulkan kerusakan
hutan Suaka Margasatwa Sikundur (Sebelum ditetapkan menjadi bagian dari TNGL).
Akibatnya areal tersebut menjadi terbuka dan memudahkan orang melakukan
aktivitas perambahan yang dilakukan oleh petani penggarap, perkebunan
swasta/koperasi dan spekulan lahan. Persoalan berkembang semakin sulit
diselesaikan oleh kehadiran korban konflik Aceh yang menduduki Kawasan TNGL
sebagai lokasi pengungsian paska Referendum Aceh, 1999. Dalam rentang waktu
tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan laju kerusakan dan
mengembalikan fungsi kawasan konservasi baik berupa perundingan, relokasi
pengungsi, operasi represif, penangkapan terhadap aktor, hingga restorasi (pemulihan)
ekosistem.
Upaya Perlindungan dan Pengamanan secara
terpadu juga telah dilakukan oleh Balai Besar TNGL. Tindakan operasi represif yang melibatkan
pihak penegak hukum lainnya dan tergolong besar antara lain; Operasi Hutan
Lestari (OHL) Toba tahun 2006 dipimpin langsung Kapolres Langkat, Operasi
Khusus Pengamanan Hutan (OKPH) tahun 2011 juga dipimpin Kapolres Langkat dengan
melibatkan TNI, Pemda, DPRD dan Masyarakat, dan yang terakhir adalah Operasi
Pengamanan Hutan Fungsional tahun 2012 dipimpin Kepala Balai Besar TNGL dengan
melibatkan TNI. Namun operasi represif tersebut tidak membuahkan hasil sesuai
dengan yang diharapkan. Bahkan kemudian gedung kantor TNGL Resort
Sekoci/Besitang dibakar oleh masyarakat. Permasalahan degradasi kawasan TNGL di
Resort Sekoci/Besitang akibat illegal
logging, perambahan kawasan, perburuan satwa liar dan aktivitas perusakan
lainnya pada saat ini diperkirakan luasnya sekitar 7.000 hektar.
Seiring
dengan berjalannya waktu dan dengan digulirkannya pendekatan ”Cara baru kelola
kawasan konservasi” oleh Dirjen KSDAE, Balai Besar TNGL bersama
dengan beberapa pihak mendukung gagasan penyelenggaraan Kongres Petani Hutan di
Sekitar Desa Penyangga Kawasan TNGL dalam Rangka Kemitraan Konservasi di
kawasan Besitang. Penyelenggaraan kongres ini diharapkan bisa memberikan
kontribusi untuk percepatan penyelesaian permasalahan pengelolaan kawasan TNGL
melalui Kemitraan Konservasi.
Berikut ini
catatan-catatan dari temuan lapangan berdasarkan wawancara dengan berbagai nara
sumber (informan), obsersavi lapangan dalam rangka penelusuran jejak
permasalahan dan solusi alternatif untuk restorasi (pemulihan) kawasan TNGL di
Besitang.
Kongres Petani
Hutan Konservasi
Kongres Petani Hutan Konservasi desa penyangga kawasan TNGL
digelar di Resort Sekoci, desa PIR ADB, kecamatan Besitang pada tanggal 22
Februari 2018. Kongres ini diinisiasi oleh masyarakat dari 12 kelompok tani
hutan konservasi yang didukung oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser,
Balai Perhutanan Sosial dan Kelola Lingkungan Wilayah Sumatera, Pemerintah Daerah
Langkat, GEF Tiger,
Yayasan Ekosistem Lestari, Yayasan Orangutan Sumatera Lestari, Wildlife Conservation
Society, Yayasan Scorpion Indonesia, dan The Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (press
release BB TNGL, 2018).
Penyelenggaraan Kongres ini tidak bisa dilepaskan dari peran Kader Konservasi
sebagai pendamping kelompok masyarakat, yaitu “Jack” Ilham Iskandar dan
kawan-kawannya.
Disamping melakukan pengorganisasian
masyarakat yang tergabung dalam 12 KTH Konservasi, Jack juga berperan penting
sebagai komunikator dan penghubung dengan para pihak pemangku kepentingan pengelolaan
TNGL dari mulai di tingkat tapak (Resort Sekoci, Besitang), Balai Besar TNGL, Pemerintah
Kabupaten Langkat, Kesultanan Langkat, hingga ke pemerintah pusat (Ditjen
KSDAE, KLHK).
Kongres
diikuti oleh sekitar 1.000 orang dari masyarakat tani setempat, pegiat LSM,
peneliti, akademisi dan lembaga mitra (donor). Kongres juga dihadiri oleh Ir. Wiratno,
M.Sc. selaku Dirjen KSDAE, Prof. San Afri Awang selaku Penasehat Senior menteri
LHK, Ir.Hanni Adiati M.Sc. selaku Staff Khusus Menteri LHK, Abdul Karim Asisten
I Pemkab Langkat, Perwakilan DPRD Langkat, Ir. Misran, MM selaku Kepala Balai
Besar, Sultan Azwar Abdul Djalil Rahmadsyah dari kerapatan adat Langkat dan
pejabat dari lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dari
direktorat teknis dan UPT-UPT di wilayah Sumatera Utara).
Hasan Sitepu selaku perwakilan tokoh masyarakat sekaligus sebagai ketua
pelaksana kongres menyampaikan, bahwa masyarakat desa PIR ADB siap menjadi yang
terdepan dalam pemulihan ekosistem dan
berkomitmen untuk menjaga Taman Nasional Gunung Leuser. Hal serupa juga
disampaikan oleh Kepala Desa PIR ADB (Ilham Bakti) dengan harapan pengelolaan
TNGL bisa berkontribusi terhadap peningkatan perekonomian masyarakat di desa
maupun di kabupaten.
Sultan Langkat, Azwar Abdul Djalil Rahmadsyah, dalam sambutannya menyampaikan bahwa masyarakat adat mendukung program
pemerintah dan sebaliknya diharapkan agar pemerintah melindungi masyarakat. “Saya nggak
pernah dengar istilah grant datuk tapi kemarin itu keluar istilah grant datuk
ini suatu pembodohan yang luar biasa terhadap masyarakat, “ ungkapnya “yang
paling penting masyarakat itu merasa dijamin mempunyai pendapatan dari sekitar
hutan,” lanjutnya. Sultan menceritakan tentang sejarah kawasan yang saat ini
bernama Taman Nasional Gunung Leuser. Kerapatan Adat Langkat sejak tahun 1938
telah bersepakat dengan pemerintah Belanda bahwa kawasan yang menjadi lokasi
kongres ini merupakan cagar alam dan seterusnya hingga ditetapkan menjadi
kawasan TNGL dan bahkan saat ini UNESCO telah menetapkan sebagai salah satu
warisan dunia.
Dirjen KSDAE (Ir. Wiratno, M.Sc.) dalam sambutannya diawali dengan
permohonan maaf kepada masyarakat atas terjadinya konflik di Besitang selama
ini. “konflik kehutanan harus berhenti sejak sekarang,” tegasnya, “kita ingin
cara-cara yang beradab untuk mengurus hutan sampai 1000 tahun kedepan,”
lanjutnya. Dirjen juga menegaskan bahwa akan berusaha menyelesaikan
permasalahan ini sampai tuntas. Merubah cara mengurus hutan kita, penyelesaian
masalah dengan duduk bersama. Pada akhir sambutannya, Dirjen mengajak seluruh
peserta kongres untuk sujud tobat, memohon ampun atas segala kesalahan yang
telah terjadi di masa lalu.
Prof. San Afri Awang menyampaikan pandangannya, bahwa
dalam penyelesaian masalah jangan
mengembangkan konflik, tetapi harus mengembangkan persaudaraan dengan melibatkan
pemerintah dan berbagai pihak dari tokoh agama, tokoh adat, masyarakat, LSM,
perguruan tinggi dan sekolah-sekolah.
Beberapa perwakilan masyarakat menyampaikan
pendapat dan mengharapkan kepada pemerintah agar dapat membantu penyediaan
bibit tanaman petai, jengkol, durian cempedak dan tanaman yang bermanfaat untuk
menambah perekonomian. Juga terkait dengan masalah pendidikan anak-anak, sarana
jalan dan penerangan listrik agar menjadi perhatian pemerintah ke depan.
Asisten 1 Pemkab Langkat memberikan pandangan
bahwa status lahan garapan masyarakat, termasuk beberapa pemukiman (rumah-rumah
warga dan gedung sekolah yang berada di dalam kawasan hutan harus diperjelas
legalitasnya. Tanpa legalitas status yang jelas, maka Pemkab tidak memiliki
kewenangan dalam pengurusan kawasan hutan.
Sebagai bagian dari
rangkaian acara Kongres juga dilakukan
kegiatan “simbolik kerja bareng” restorasi kawasan dengan penanaman bibit pohon
serbaguna (Multi Purpose Tree
Species/MPTS) oleh perwakilan para pihak dan sekaligus kunjungan pertemuan
dialog bersama masyarakat pengungsi eks konflik Aceh di Bara Induk.
Penyelenggaraan Kongres Petani Hutan Konservasi
di Besitang menjadi momentum strategis untuk membumikan gagasan pendekatan Cara
baru kelola kawasan konservasi. Cara
baru kelola kawasan konservasi ini tidak hanya memberikan peluang keberhasilan
bagi upaya restorasi (pemulihan) kawasan konservasi, tetapi juga memberikan
peluang bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat dan sekaligus pertumbuhan
wilayah di sekitar kawasan konservasi.
Beberapa Tantangan
Ada beberapa informasi dan catatan penting yang
diperoleh dari hasil wawancara informal dengan berbagai nara sumber, sejak
mulai perjalanan menuju lokasi Resort Sekoci/Besitang, saat berada di arena Kongres, dan peninjauan
lapangan serta dialog dengan para warga “pengungsi” eks konflik Aceh di Bara
Induk pada tanggal 21-23 Februari 2018.
Beberapa nara sumber yang berhasil ditemui dan diwawancarai diantaranya;
Oding Affandi (akademisi dari Universitas Sumatera Utara), “Jack” Ilham
Iskandar Zein (Kader Konservasi yang sekaligus pendamping KTH), Ilham Bhakti
(Kepala desa PIR ADB), Hasan Sitepu (tokoh masyarakat dan juga ketua panitia
Kongres), beberapa petani anggota KTH (Pak Muhtar, M. Anip, Aminullah, Tusino,
Ibu Erna, Tumiran), dan Sukardi Darmo (tokoh pengungsi di Bara Induk). Informasi dari berbagai nara sumber tersebut
lebih fokus diarahkan untuk menggali tantangan
dan kendala-kendala yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan
pelaksanaan inisiatif Kemitraan Konservasi di kawasan Besitang.
(1)
Masih ada yang belum
sepakat dengan Kemitraan Konservasi: Pada saat ini petani penggarap yang sudah
terorganisir dan bergabung dalam
pelaksanaan Kongres ada 12 Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) dengan jumlah
anggota setiap kelompok berkisar antara 25 – 50 orang atau jumlah keseluruhan
sekitar 450 petani. Ada petani penggarap yang masih menentang inisiatif
Kelompok Tani Hutan Konservasi ini, diantara mereka ada yang memperoleh lahan
garapan dari transaksi “jual-beli” ilegal dan juga ada dari beberapa keluarga
yang mengklaim sebagai warga adat kedatukan Besitang. Situasi ini tidak bisa
dibiarkan terus-menerus dan berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Langkah
apa yang akan dilakukan terhadap mereka yang menentang Kemitraan Konservasi?;
(2) Apakah jumlah keluarga petani penggarap akan terus dibiarkan bertambah? Belum ada data resmi jumlah keluarga petani atau perambah di
kawasan Besitang dan dari wawancara
diperoleh informasi bahwa jumlah terus bertambah, ada keluarga pendatang
baru dan juga ada yang kembali lagi setelah sebelumnya telah keluar dari areal
lokasi kawasan Besitang. Bahkan dari beberapa petani yang diwawancarai
diantaranya ada yang berasal dari luar Besitang, seperti dari kota Pangkalan
Brandan, Pangkalan Susu, dan juga dari kota Stabat. Bagaimana cara mencegah
atau mengatasi penambahan kedatangan keluarga baru di dalam areal kawasan ini?;
(3) Percepatan pengkayaan jenis-jenis tanaman/pohon untuk restorasi. Fakta di lapangan pada saat ini bahwa situasi tutupan lahan
masih sangat minim dan didominasi oleh tanaman semusim, semak belukar, tanaman
kebun monokultur (kelapa sawit, karet ataupun tanaman hortikultura). Bahwa pada saat ini anggota Kelompok Tani
Hutan Konservasi sudah mulai melakukan penanaman jenis-jenis tanaman pohon
serbaguna (Multiple Purpose Tree Species).
Namun jumlahnya masih jauh dari jumlah luasan areal lahan yang terbuka. Sebuah tantangan besar untuk melakukan
percepatan penanaman jenis-jenis tanaman/pohon yang sesuai untuk pemulihan
(restorasi) fungsi kawasan konservasi.
Bahkan pemilihan jenis pohon yang akan ditanam tersebut juga harus
mempertimbangkan untuk keperluan pemenuhan mata pencaharian (ekonomi keluarga)
petani, termasuk juga untuk kebutuhan biaya pendidikan anak-anak para petani;
(4) Apakah masih akan dilakukan proses penegakan hukum dan disertai
tindakan represif ? Dari hasil wawancara
diperoleh informasi bahwa ada “penguasaan” lahan secara ilegal dalam skala
luas, ada yang lebih 10 hektar dari satu keluarga dan ada kecenderungan
melakukan budidaya perkebunan monokultur (berupa kebun kelapa sawit, kebun
karet atau budidaya tanaman non hutan lainnya).
Fenomena ini masih banyak dijumpai di lapangan.
(5) Penanganan konflik terhadap warga pengungsi eks konflik Aceh. Bahwa kebutuhan keluarga pengungsi tidak semata-mata hanya lahan garapan
untuk budidaya dalam rangka pemenuhan kebutuhan mata pencahariannya. Namun di
dalam kawasan TNGL juga ada pembangunan rumah-rumah semi permanen (sebagian
juga bangunan permanen), gedung sekolah dan fasilitas umum lainnya. Pada saat dilakukan kunjungan dan dialog
bersama warga pengungsi, sebagian besar mereka mengharapkan pemukimannya bisa
dikeluarkan dari kawasan hutan dan dijadikan wilayah desa definitif. Sementara itu, pandangan dan sikap dari pihak
petugas Balai Besar TNGL tidak menghendaki terjadinya pelepasan areal kawasan
hutan. Pandangan dan sikap BB TNGL ini
juga selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian
Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Apakah penanganan masalah pemukiman akan dilakukan resettlement?;
(6) Penguatan sinergitas penyelesaian permasalahan konflik lahan dan
perambahan melalui proses-proses multipihak. Proses
penanganan masalah perambahan dan konflik lahan di Besitang ini sudah berjalan
melewati 3 dekade. Bahkan juga telah menggunakan penanganan secara terpadu
dengan melibatkan unsur TNI dan Polri. Tampaknya penanganan melalui tindakan
represif tidak bisa membuahkan hasil sesuai yang diharapkan. Pelibatan Pemerintah Daerah Kabupaten,
Pemerintah Provinsi dan kalangan masyarakat sipil sudah menjadi keniscayaan. Bagaimana sinergitas peran para pihak ini
akan terus dikuatkan pada masa mendatang?
Rekomendasi
Beberapa rekomendasi agar inisiatif Kemitraan
Konservasi yang telah digulirkan pada saat ini bisa berhasil merestorasi
kawasan konservasi dan sekaligus berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan
ekonomi (mata pencaharian) keluarga petani adalah sebagai berikut;
(1) Diperlukan pendekatan kepada kelompok yang melakukan tuntutan
klaim hak atas adat kedatukan Besitang. Pada saat ini telah berhasil dilakukan
pendekatan kepada lembaga adat melalui Kesultanan langkat. Namun fakta di
lapangan masih dijumpai praktik ‘penguasaan” lahan melalui klaim lembaga adat
kedatukan Besitang. Perlu dilakukan musyawarah yang melibatkan pihak Kesultanan
Langkat dengan Kedatukan Besitang dan para pendukungnya untuk menegaskan relasi
kelembagaan antara Kedatukan Besitang dengan Kesultanan Langkat, terutama untuk
menyelesaikan masalah klaim adat terhadap penguasaan lahan yang berada di areal
kawasan hutan TNGL;
(2) Keberadaan “penguasaan” lahan melalui transaksi jual-beli yang
terindikasi dilakukan secara ilegal tidak bisa dibiarkan dan perlu segera
dilakukan investigasi dengan melibatkan Direktorat Jengeral Penegakan
Hukum. Bila situasi ini tidak segera
dilakukan penanganan, maka akan berdampak terhadap semakin meluasnya praktik-praktik
penguasaan lahan secara ilegal melalui transaksi jual beli;
(3) Demikian juga terkait dengan penanganan masalah pengungsi eks
konflik Aceh di Bara Induk, Sei Minyak dan tempat pengungsian lainnya. Pada
saat ini status keberadaan mereka, termasuk lokasi areal pemukiman dan gedung
sekolah tidak memiliki kejelasan penyelesasian. Penanganan melalui relokasi
yang pernah dilakukan pada peiode-periode sebelumnya terbukti belum membuahkan
hasil yang efektif. Perlu dilakukan
kajian terhadap opsi-opsi penyelesaiannya, terutama terkait dengan harapan
dilepaskannya areal lokasi pemukiman menjadi non kawasan hutan. Peluang kebijakan yang ada pada saat ini
adalah resettlement dan atau perubahan zonasi. Pada areal yang sudah terlanjur
ada pemukiman dan gedung sekolah atau fasilitas umum lainnya bisa diarahkan
menjadi zona khusus. Sedangkan pada areal lahan garapannya yang pada saat ini berupa
budidaya perkebunan (karet) bisa diarahkan untuk mengikuti Kemitraan
Konservasi;
(4) Perlu dukungan penguatan bagi pendamping KTH Konservasi. Bahwa
pendampingan masyarakat pada saat ini dilakukan secara sukarela oleh Kader
Konservasi dengan pembiayaan yang sangat terbatas. Perlu diperkuat dukungan bagi para
pendamping, baik untuk kegiatan operasional pengembangan kelembagaan kelompok
masyarakat, maupun untuk dukungan pengadaan bibit pohon tanaman serbaguna untuk
restorasi kawasan.
(5) Proses-proses multipihak untuk penyelesaian permalahan konflik
lahan dan perambahan kawasan TNGL ini perlu dipertahankan dan semakin
diperkuat, terutama penguatan peran Pemerintah Kabupaten Langkat, Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara dan peran masyarakat
sipil untuk pendampingan (pengorganisasian) masyarakat.
*Catatan dari Kongres Petani Hutan Konservasi
dalam rangka kemitraan pengelolaan hutan di Resort Sekoci/Besitang – Taman
Nasional Gunung Lauser TNGL).
Komentar
Posting Komentar