Peluang dan Tantangan Restorasi Kawasan Konservasi Melalui Kemitraan Konservasi


Oleh Suwito, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform)
 

Latar belakang
Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah sebagai modal dasar pembangunan nasional. Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, atau lebih dikenal dengan sebutan keanekaragaman hayati, merupakan bagian terpenting dari sumberdaya alam, yang terdiri atas keanekaragaman tipe ekosistem, keanekaragaman jenis flora dan fauna, serta keanekaragaman sumberdaya genetik. Keanekaragaman hayati tersebut mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak tergantikan, dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia.
Oleh karenanya, upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menjadi penting, karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur keanekaragaman hayati akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat, yang tidak sepadan jika dinilai dengan materi dan pemulihannya tidak mudah untuk dilakukan. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) merupakan unit kerja di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mendapatkan mandat untuk memangku dan/atau mengelola secara langsung kawasan kawasan konservasi.
Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berbagai isu sosial, budaya dan ekonomi masyarakat yang berada di desa-desa sekitarnya.  Luas kawasan konservasi  berupapa daratan (hutan) dan perairan di Indonesia sekitar 27.108.486,54 hektar. Dari luasan tersebut berupa areal lahan (daratan) kawasan hutan konservasi sekitar sekitar 21.948.177,28 hektar dan terdapat areal terbuka (open area) sekitar 2.235.827,04 hektar (10,19%). Selain akibat dari adanya perambahan untuk lahan garapan, pengelolaan kawasan hutan konservasi juga terdapat tumpang tindih (konflik tenurial) dengan masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat. Terdapat sekitar 6.381 desa di sekitar kawasan konservasi dan dari analisis spasial ditjen KSDAE terdapat usulan wilayah adat di kawasan konservasi seluas 1.646.155,12 hektar (Dirjen KSDAE, 2018)[1].
Tata kelola kawasan konservasi dan keanekaragaman hayati harus dilakukan secara efektif dan bijaksana untuk kepentingan generasi kini dan mendatang.  Pengelolaan kawasan konservasi  juga tidak bisa mengabaikan Kebijakan Prioritas (Nawacita) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI (Periode Kabinet Kerja, 2014-2019). Oleh karena itu Ditjen KSDAE telah menggagas ruang-ruang diskursus kebijakan dan praktik-praktik pengelolaan kolaboratif di tingkat tapak bersama para pihak pemangku kepentingan.
Pada tataran kebijakan atau regulasi telah disusun Peraturan Dirjen KSDAE tentang Kemitraan Konservasi, yaitu kerjasama antara unit pengelola kawasan atau pemegang ijin pada kawasan konservasi bersama masyarakat setempat dengan prinsip-prinsip saling menghargai, saling percaya dan saling menguntungkan.  Sedangkan pada tingkat tapak juga sedang berproses berbagai inisiatif pelibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Direktur Jenderal KSDAE dalam Rapat Koordinasi Teknis Bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem di Jakarta pada tanggal 26 September 2017 menyatakan, bahwa akan menggunakan cara baru dalam mengelola kawasan konservasi dengan pelibatan masyarakat yang berada di pinggir atau di dalam kawasan konservasi. Cara baru kelola kawasan konservasi ini juga sebagai upaya untuk menemukan model kelola kawasan konservasi yang didasarkan pada nilai-nilai adat dan budaya masyarakat setempat.
Peluang Restorasi “Besitang”
Besitang adalah nama kecamatan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Desa-desa yang masuk dalam wilayah kecamatan ini merupakan desa-desa penting bagi kawasan Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL), karena berbatasan langsung dengan taman nasional. Besitang merupakan kawasan sangat penting, karena terdapat keterwakilan hutan hujan dataran rendah kaya keragaman hayati di TNGL. Hutan dataran rendahnya merupakan daerah persinggahan gajah dari wilayah Lesten, Gayo, dan Aceh Tenggara.
Besitang menjadi sangat penting juga karena kawasan ini dapat menjadi pelajaran bagaimana resiko kawasan taman nasional yang tidak dikelola di lapangan dalam waktu yang cukup lama. Walaupun batas-batasnya sangat jelas dan masih tegak berdiri, penebangan kayu ilegal, perambahan dan penyerobotan lahan adalah cerita sehari-hari di kawasan ini. Pada dekade 1990-an usaha penegakan hukum pernah dilakukan melalui operasi pemberantasan perambahan dan illegal logging.  Namun usaha itu bersifat sporadis. Tanpa tindak lajut manajemen yang rutin di lapangan, secara bertahap dan sistematis, kawasan konservasi ini diduduki kembali oleh ’kelompok-kelompok’ masyarakat. Tanpa pengelolaan dari Taman Nasional, Besitang menjadi daerah terbuka yang dapat diakses oleh siapapun (open access). Besitang seperti tidak dimiliki atau dikuasai oleh siapapun tetapi sekaligus juga merupakan milik setiap orang (Wiratno, 2012)[2].
Permasalahan Besitang telah terjadi dalam kurun waktu lebih dari tiga dekade. Persoalan tersebut diawali sejak tahun 1977, ketika dicetuskan “Pilot Proyek Pembinaan Habitat dan Populasi Satwa Sikundur.” Pada pelaksanaannya proyek tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan Suaka Margasatwa Sikundur (Sebelum ditetapkan menjadi bagian dari TNGL). Akibatnya areal tersebut menjadi terbuka dan memudahkan orang melakukan aktivitas perambahan yang dilakukan oleh petani penggarap, perkebunan swasta/koperasi dan spekulan lahan. Persoalan berkembang semakin sulit diselesaikan oleh kehadiran korban konflik Aceh yang menduduki Kawasan TNGL sebagai lokasi pengungsian paska Referendum Aceh, 1999. Dalam rentang waktu tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan laju kerusakan dan mengembalikan fungsi kawasan konservasi baik berupa perundingan, relokasi pengungsi, operasi represif, penangkapan terhadap aktor, hingga restorasi (pemulihan) ekosistem.
Upaya Perlindungan dan Pengamanan secara terpadu juga telah dilakukan oleh Balai Besar TNGL.  Tindakan operasi represif yang melibatkan pihak penegak hukum lainnya dan tergolong besar antara lain; Operasi Hutan Lestari (OHL) Toba tahun 2006 dipimpin langsung Kapolres Langkat, Operasi Khusus Pengamanan Hutan (OKPH) tahun 2011 juga dipimpin Kapolres Langkat dengan melibatkan TNI, Pemda, DPRD dan Masyarakat, dan yang terakhir adalah Operasi Pengamanan Hutan Fungsional tahun 2012 dipimpin Kepala Balai Besar TNGL dengan melibatkan TNI. Namun operasi represif tersebut tidak membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan kemudian gedung kantor TNGL Resort Sekoci/Besitang dibakar oleh masyarakat. Permasalahan degradasi kawasan TNGL di Resort Sekoci/Besitang  akibat illegal logging, perambahan kawasan, perburuan satwa liar dan aktivitas perusakan lainnya pada saat ini diperkirakan luasnya sekitar 7.000 hektar.
Seiring dengan berjalannya waktu dan dengan digulirkannya pendekatan ”Cara baru kelola kawasan konservasi” oleh Dirjen KSDAE, Balai Besar TNGL bersama dengan beberapa pihak mendukung gagasan penyelenggaraan Kongres Petani Hutan di Sekitar Desa Penyangga Kawasan TNGL dalam Rangka Kemitraan Konservasi di kawasan Besitang. Penyelenggaraan kongres ini diharapkan bisa memberikan kontribusi untuk percepatan penyelesaian permasalahan pengelolaan kawasan TNGL melalui Kemitraan Konservasi.  

Berikut ini catatan-catatan dari temuan lapangan berdasarkan wawancara dengan berbagai nara sumber (informan), obsersavi lapangan dalam rangka penelusuran jejak permasalahan dan solusi alternatif untuk restorasi (pemulihan) kawasan TNGL di Besitang. 

Kongres Petani Hutan Konservasi
Kongres Petani Hutan Konservasi desa penyangga kawasan TNGL digelar di Resort Sekoci, desa PIR ADB, kecamatan Besitang pada tanggal 22 Februari 2018. Kongres ini diinisiasi oleh masyarakat dari 12 kelompok tani hutan konservasi yang didukung oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Balai Perhutanan Sosial dan Kelola Lingkungan Wilayah Sumatera, Pemerintah Daerah Langkat, GEF Tiger, Yayasan Ekosistem Lestari, Yayasan Orangutan Sumatera Lestari, Wildlife Conservation Society, Yayasan Scorpion Indonesia, dan The Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (press release BB TNGL, 2018). Penyelenggaraan Kongres ini tidak bisa dilepaskan dari peran Kader Konservasi sebagai pendamping kelompok masyarakat, yaitu “Jack” Ilham Iskandar dan kawan-kawannya.
Disamping melakukan pengorganisasian masyarakat yang tergabung dalam 12 KTH Konservasi, Jack juga berperan penting sebagai komunikator dan penghubung dengan para pihak pemangku kepentingan pengelolaan TNGL dari mulai di tingkat tapak (Resort Sekoci, Besitang), Balai Besar TNGL, Pemerintah Kabupaten Langkat, Kesultanan Langkat, hingga ke pemerintah pusat (Ditjen KSDAE, KLHK). 

Kongres diikuti oleh sekitar 1.000 orang dari masyarakat tani setempat, pegiat LSM, peneliti, akademisi dan lembaga mitra (donor). Kongres juga dihadiri oleh Ir. Wiratno, M.Sc. selaku Dirjen KSDAE, Prof. San Afri Awang selaku Penasehat Senior menteri LHK, Ir.Hanni Adiati M.Sc. selaku Staff Khusus Menteri LHK, Abdul Karim Asisten I Pemkab Langkat, Perwakilan DPRD Langkat, Ir. Misran, MM selaku Kepala Balai Besar, Sultan Azwar Abdul Djalil Rahmadsyah dari kerapatan adat Langkat dan pejabat dari lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dari direktorat teknis dan UPT-UPT di wilayah Sumatera Utara).
Hasan Sitepu selaku perwakilan tokoh masyarakat sekaligus sebagai ketua pelaksana kongres menyampaikan, bahwa masyarakat desa PIR ADB siap menjadi yang terdepan dalam pemulihan ekosistem  dan berkomitmen untuk menjaga Taman Nasional Gunung Leuser. Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Desa PIR ADB (Ilham Bakti) dengan harapan pengelolaan TNGL bisa berkontribusi terhadap peningkatan perekonomian masyarakat di desa maupun di kabupaten.
Sultan Langkat, Azwar Abdul Djalil Rahmadsyah, dalam sambutannya menyampaikan bahwa masyarakat adat mendukung program pemerintah dan sebaliknya diharapkan agar  pemerintah melindungi masyarakat. “Saya nggak pernah dengar istilah grant datuk tapi kemarin itu keluar istilah grant datuk ini suatu pembodohan yang luar biasa terhadap masyarakat, “ ungkapnya “yang paling penting masyarakat itu merasa dijamin mempunyai pendapatan dari sekitar hutan,” lanjutnya. Sultan menceritakan tentang sejarah kawasan yang saat ini bernama Taman Nasional Gunung Leuser. Kerapatan Adat Langkat sejak tahun 1938 telah bersepakat dengan pemerintah Belanda bahwa kawasan yang menjadi lokasi kongres ini merupakan cagar alam dan seterusnya hingga ditetapkan menjadi kawasan TNGL dan bahkan saat ini UNESCO telah menetapkan sebagai salah satu warisan dunia.
Dirjen KSDAE (Ir. Wiratno, M.Sc.) dalam sambutannya diawali dengan permohonan maaf kepada masyarakat atas terjadinya konflik di Besitang selama ini. “konflik kehutanan harus berhenti sejak sekarang,” tegasnya, “kita ingin cara-cara yang beradab untuk mengurus hutan sampai 1000 tahun kedepan,” lanjutnya. Dirjen juga menegaskan bahwa akan berusaha menyelesaikan permasalahan ini sampai tuntas. Merubah cara mengurus hutan kita, penyelesaian masalah dengan duduk bersama. Pada akhir sambutannya, Dirjen mengajak seluruh peserta kongres untuk sujud tobat, memohon ampun atas segala kesalahan yang telah terjadi di masa lalu.
Prof. San Afri Awang menyampaikan pandangannya, bahwa dalam penyelesaian masalah jangan  mengembangkan konflik, tetapi  harus mengembangkan persaudaraan dengan melibatkan pemerintah dan berbagai pihak dari tokoh agama, tokoh adat, masyarakat, LSM, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah.
Beberapa perwakilan masyarakat menyampaikan pendapat dan mengharapkan kepada pemerintah agar dapat membantu penyediaan bibit tanaman petai, jengkol, durian cempedak dan tanaman yang bermanfaat untuk menambah perekonomian. Juga terkait dengan masalah pendidikan anak-anak, sarana jalan dan penerangan listrik agar menjadi perhatian pemerintah ke depan.
Asisten 1 Pemkab Langkat memberikan pandangan bahwa status lahan garapan masyarakat, termasuk beberapa pemukiman (rumah-rumah warga dan gedung sekolah yang berada di dalam kawasan hutan harus diperjelas legalitasnya. Tanpa legalitas status yang jelas, maka Pemkab tidak memiliki kewenangan dalam pengurusan kawasan hutan.
Sebagai bagian dari rangkaian acara Kongres  juga dilakukan kegiatan “simbolik kerja bareng” restorasi kawasan dengan penanaman bibit pohon serbaguna (Multi Purpose Tree Species/MPTS) oleh perwakilan para pihak dan sekaligus kunjungan pertemuan dialog bersama masyarakat pengungsi eks konflik Aceh di Bara Induk.

Penyelenggaraan Kongres Petani Hutan Konservasi di Besitang menjadi momentum strategis untuk membumikan gagasan pendekatan Cara baru kelola kawasan konservasi.  Cara baru kelola kawasan konservasi ini tidak hanya memberikan peluang keberhasilan bagi upaya restorasi (pemulihan) kawasan konservasi, tetapi juga memberikan peluang bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat dan sekaligus pertumbuhan wilayah di sekitar kawasan konservasi.  
Beberapa Tantangan
Ada beberapa informasi dan catatan penting yang diperoleh dari hasil wawancara informal dengan berbagai nara sumber, sejak mulai perjalanan menuju lokasi Resort Sekoci/Besitang,  saat berada di arena Kongres, dan peninjauan lapangan serta dialog dengan para warga “pengungsi” eks konflik Aceh di Bara Induk pada tanggal 21-23 Februari 2018.  Beberapa nara sumber yang berhasil ditemui dan diwawancarai diantaranya; Oding Affandi (akademisi dari Universitas Sumatera Utara), “Jack” Ilham Iskandar Zein (Kader Konservasi yang sekaligus pendamping KTH), Ilham Bhakti (Kepala desa PIR ADB), Hasan Sitepu (tokoh masyarakat dan juga ketua panitia Kongres), beberapa petani anggota KTH (Pak Muhtar, M. Anip, Aminullah, Tusino, Ibu Erna, Tumiran), dan Sukardi Darmo (tokoh pengungsi di Bara Induk).  Informasi dari berbagai nara sumber tersebut lebih fokus diarahkan untuk menggali tantangan  dan kendala-kendala yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan pelaksanaan inisiatif Kemitraan Konservasi di kawasan Besitang. 
(1)    Masih ada yang belum sepakat dengan Kemitraan Konservasi:  Pada saat ini petani penggarap yang sudah terorganisir dan bergabung  dalam pelaksanaan Kongres ada 12 Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) dengan jumlah anggota setiap kelompok berkisar antara 25 – 50 orang atau jumlah keseluruhan sekitar 450 petani. Ada petani penggarap yang masih menentang inisiatif Kelompok Tani Hutan Konservasi ini,  diantara mereka ada yang memperoleh lahan garapan dari transaksi “jual-beli” ilegal dan juga ada dari beberapa keluarga yang mengklaim sebagai warga adat kedatukan Besitang. Situasi ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus dan berpotensi menimbulkan konflik horisontal. Langkah apa yang akan dilakukan terhadap mereka yang menentang Kemitraan Konservasi?; 
(2)   Apakah jumlah keluarga petani penggarap akan terus dibiarkan bertambah? Belum ada data resmi jumlah keluarga petani atau perambah di kawasan Besitang dan dari wawancara  diperoleh informasi bahwa jumlah terus bertambah, ada keluarga pendatang baru dan juga ada yang kembali lagi setelah sebelumnya telah keluar dari areal lokasi kawasan Besitang. Bahkan dari beberapa petani yang diwawancarai diantaranya ada yang berasal dari luar Besitang, seperti dari kota Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, dan juga dari kota Stabat. Bagaimana cara mencegah atau mengatasi penambahan kedatangan keluarga baru di dalam areal kawasan ini?;
(3)   Percepatan pengkayaan jenis-jenis tanaman/pohon untuk restorasi. Fakta di lapangan pada saat ini bahwa situasi tutupan lahan masih sangat minim dan didominasi oleh tanaman semusim, semak belukar, tanaman kebun monokultur (kelapa sawit, karet ataupun tanaman hortikultura).  Bahwa pada saat ini anggota Kelompok Tani Hutan Konservasi sudah mulai melakukan penanaman jenis-jenis tanaman pohon serbaguna (Multiple Purpose Tree Species). Namun jumlahnya masih jauh dari jumlah luasan areal lahan yang terbuka.  Sebuah tantangan besar untuk melakukan percepatan penanaman jenis-jenis tanaman/pohon yang sesuai untuk pemulihan (restorasi) fungsi kawasan konservasi.  Bahkan pemilihan jenis pohon yang akan ditanam tersebut juga harus mempertimbangkan untuk keperluan pemenuhan mata pencaharian (ekonomi keluarga) petani, termasuk juga untuk kebutuhan biaya pendidikan anak-anak para petani;
(4)   Apakah masih akan dilakukan proses penegakan hukum dan disertai tindakan represif ? Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa ada “penguasaan” lahan secara ilegal dalam skala luas, ada yang lebih 10 hektar dari satu keluarga dan ada kecenderungan melakukan budidaya perkebunan monokultur (berupa kebun kelapa sawit, kebun karet atau budidaya tanaman non hutan lainnya).  Fenomena ini masih banyak dijumpai di lapangan.   
(5)   Penanganan konflik terhadap warga pengungsi eks konflik Aceh. Bahwa kebutuhan keluarga pengungsi tidak semata-mata hanya lahan garapan untuk budidaya dalam rangka pemenuhan kebutuhan mata pencahariannya. Namun di dalam kawasan TNGL juga ada pembangunan rumah-rumah semi permanen (sebagian juga bangunan permanen), gedung sekolah dan fasilitas umum lainnya.  Pada saat dilakukan kunjungan dan dialog bersama warga pengungsi, sebagian besar mereka mengharapkan pemukimannya bisa dikeluarkan dari kawasan hutan dan dijadikan wilayah desa definitif.  Sementara itu, pandangan dan sikap dari pihak petugas Balai Besar TNGL tidak menghendaki terjadinya pelepasan areal kawasan hutan.  Pandangan dan sikap BB TNGL ini juga selaras dengan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.  Apakah penanganan masalah pemukiman akan dilakukan resettlement?;
(6)   Penguatan sinergitas penyelesaian permasalahan konflik lahan dan perambahan melalui proses-proses multipihak. Proses penanganan masalah perambahan dan konflik lahan di Besitang ini sudah berjalan melewati 3 dekade. Bahkan juga telah menggunakan penanganan secara terpadu dengan melibatkan unsur TNI dan Polri. Tampaknya penanganan melalui tindakan represif tidak bisa membuahkan hasil sesuai yang diharapkan.  Pelibatan Pemerintah Daerah Kabupaten, Pemerintah Provinsi dan kalangan masyarakat sipil sudah menjadi keniscayaan.  Bagaimana sinergitas peran para pihak ini akan terus dikuatkan pada masa mendatang?

Rekomendasi
Beberapa rekomendasi agar inisiatif Kemitraan Konservasi yang telah digulirkan pada saat ini bisa berhasil merestorasi kawasan konservasi dan sekaligus berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi (mata pencaharian) keluarga petani adalah sebagai berikut;
(1)    Diperlukan pendekatan kepada kelompok yang melakukan tuntutan klaim hak atas adat kedatukan Besitang. Pada saat ini telah berhasil dilakukan pendekatan kepada lembaga adat melalui Kesultanan langkat. Namun fakta di lapangan masih dijumpai praktik ‘penguasaan” lahan melalui klaim lembaga adat kedatukan Besitang. Perlu dilakukan musyawarah yang melibatkan pihak Kesultanan Langkat dengan Kedatukan Besitang dan para pendukungnya untuk menegaskan relasi kelembagaan antara Kedatukan Besitang dengan Kesultanan Langkat, terutama untuk menyelesaikan masalah klaim adat terhadap penguasaan lahan yang berada di areal kawasan hutan TNGL;
(2)    Keberadaan “penguasaan” lahan melalui transaksi jual-beli yang terindikasi dilakukan secara ilegal tidak bisa dibiarkan dan perlu segera dilakukan investigasi dengan melibatkan Direktorat Jengeral Penegakan Hukum.  Bila situasi ini tidak segera dilakukan penanganan, maka akan berdampak terhadap semakin meluasnya praktik-praktik penguasaan lahan secara ilegal melalui transaksi jual beli;
(3)    Demikian juga terkait dengan penanganan masalah pengungsi eks konflik Aceh di Bara Induk, Sei Minyak dan tempat pengungsian lainnya. Pada saat ini status keberadaan mereka, termasuk lokasi areal pemukiman dan gedung sekolah tidak memiliki kejelasan penyelesasian. Penanganan melalui relokasi yang pernah dilakukan pada peiode-periode sebelumnya terbukti belum membuahkan hasil yang efektif.  Perlu dilakukan kajian terhadap opsi-opsi penyelesaiannya, terutama terkait dengan harapan dilepaskannya areal lokasi pemukiman menjadi non kawasan hutan.  Peluang kebijakan yang ada pada saat ini adalah resettlement dan atau perubahan zonasi. Pada areal yang sudah terlanjur ada pemukiman dan gedung sekolah atau fasilitas umum lainnya bisa diarahkan menjadi zona khusus. Sedangkan pada areal lahan garapannya yang pada saat ini berupa budidaya perkebunan (karet) bisa diarahkan untuk mengikuti Kemitraan Konservasi;
(4)    Perlu dukungan penguatan bagi pendamping KTH Konservasi. Bahwa pendampingan masyarakat pada saat ini dilakukan secara sukarela oleh Kader Konservasi dengan pembiayaan yang sangat terbatas.  Perlu diperkuat dukungan bagi para pendamping, baik untuk kegiatan operasional pengembangan kelembagaan kelompok masyarakat, maupun untuk dukungan pengadaan bibit pohon tanaman serbaguna untuk restorasi kawasan.
(5)    Proses-proses multipihak untuk penyelesaian permalahan konflik lahan dan perambahan kawasan TNGL ini perlu dipertahankan dan semakin diperkuat, terutama penguatan peran Pemerintah Kabupaten Langkat, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan peran  masyarakat sipil untuk pendampingan (pengorganisasian) masyarakat.
*Catatan dari Kongres Petani Hutan Konservasi dalam rangka kemitraan pengelolaan hutan di Resort Sekoci/Besitang – Taman Nasional Gunung Lauser TNGL).


[1] Paparan dirjen KSDAE pada Rapat Kerja Kementerian LHK, Jakarta 19-20 Februari 2018.
[2] Wiratno, 2012. Tersesat di Jalan Yang Benar, Seribu hari mengelola Lauser.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas tentang Penganugerahan Satyalancana Wira Karya

Wanatani Repong Damar : Pengelolaan Alam Lestari ala Krui – Lampung

Dendang Sunyi Kidung Hati