Kemitraan Konservasi dalam Kontroversi

Kemitraan Konservasi dalam Kontroversi

Oleh Suwito
Kemitraan (Partnership for Governance Reform); Focal Point Nasional Pokja Perhutanan Sosial dan anggota Gugus Tugas Multipihak Ditjen KSDAE.

Artikel ini telah dimuat dalam Majalah Forest Digest edisi Oktober - Desember 2019 




Penulis bersama KTH Konservasi di Sei Bemban, Kecamatan Besitang, Resort Sekoci, TN Gunung Lauser.


Perhutanan Sosial 

Para rimbawan barangkali tidak pernah menyadari bahwa pengelolaan hutan yang didasarkan atas kaidah-kaidah kehutanan akademik (scientific forestry) merupakan perwujudan tindakan politik. Pendapat ini diungkapkan (juga) oleh seorang rimbawan dalam sebuah artikel  berjudul “Negara dan Sindrom Otak Kiri” (Santoso, H. 2017). Artikel tersebut merupakan ulasan dari buku Seeing Like a State:  How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed karya James C. Scott (Wacana 36 Tahun 2017:199-211). 

Diceritakan bahwa dalam pandangan Scott, negara sesungguhnya mengalami paranoia ketika berhadapan dengan hal-hal yang kompleks. Kompleksitas penamaan saja dipandang perlu diatur dan dikendalikan apalagi ekosistem hutan alam yang cenderung rumit. Oleh karena itulah melalui Johann Gottlieb Becmann, Prusia (Jerman kuno) merasa perlu mengembangkan teknik-teknik kehutanan yang disebut kehutanan akademik, perangkat keilmuan yang perkembangannya ditopang oleh kampus-kampus di berbagai belahan dunia dan tentu saja didukung oleh kekuatan negara. Kehutanan akademik yang dirintis Beckmann sejak awal abat XVIII itu diwariskan secara konsisten dan turun menurun dari satu generasi rimbawan ke generasi rimbawan berikutnya. Dalam ulasan itu juga disebutkan bahwa kehutanan akademik yang mulai dikembangkan di Prusia itu merupakan proyek ekonomi politik negara. Kelahiran kehutanan akademik tak bisa dilepaskan dari perkembangan ide mengenai birokrasi negara terpusat yang pada waktu itu menjadi semacam arus utama modernisme di Eropa.

Mungkin karena citra ilmu pengetahuan yang sungguh sedemikian tingginya, maka kritik terhadap penggunaan ilmu pengetahuan belum banyak menjadi agenda yang secara sungguh-sungguh dilaksanakan (Kartodihardjo, H. 2013). Diperkirakan ada beberapa alasan mengapa penguasaan ilmu pengetahuan dan substansi ilmu kehutanan yang melahirkan pengelolaan kehutanan ilmiah (scientific forestry) belum pernah dianggap sebagai faktor yang menentukan baik-buruknya kinerja pembangunan kehutanan. Salah satu diantaranya, yaitu adanya anggapan bahwa ilmu pengetahuan itu netral. Pemikiran itu relatif mendominasi para rimbawan Indonesia, diperkirakan karena rimbawan pada umumnya berangkat dari kebiasaan pemahaman ilmu-ilmu alam dengan hukum-hukum alam yang kongkrit dan baku.  

Dikaitkan dengan pembangunan kehutanan, ilmu pengetahuan yang telah diwujudkan dalam bentuk “narasi kebijakan” bukan hanya tidak netral, namun secara sengaja dapat digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan individu atau kelompok.
Sejak awal tahun 1970-an telah muncul konspirasi besar-besaran untuk mendistribusikan sumber daya alam hutan khususnya hutan alam tropis, dari satu tangan yang namanya “pemerintah” ke kelompok kecil orang yang merasa “paling berjasa” terhadap perjuangan bangsa Indonesia (Awang, S.A. 2003).  

Hal itu kemudian terkonfirmasi dalam data ijin konsesi usaha kehutanan yang disampaikan oleh Menteri LHK dalam sebuah rilisnya, bahwa dari luas kawasan hutan 120 juta hektar, alokasi sekitar 34 juta hektar atau 30% diberikan ijin kelolanya kepada korporat, dan itu hanya dimiliki oleh 25 konglomerat saja. (https://ekonomi.bisnis.com/read/20161203/99/608762/menteri-siti-nurbaya-pengelolaan-sda-era-jokowi-jk-prorakyat).   


Pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla (2014-2019) melakukan “aksi korektif” untuk mengatasi ketimpangan pemanfaatan hutan melalui kebijakan yang bertajuk Perhutanan Sosial.
Telah dicanangkan target seluas 12,7 juta hektar untuk program ini, dengan disertai pembentukan satu  direktur jenderal yang khusus menangani di Kemitraan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun capaiannya masih minim. Baru 26% dari target per September 2019. Meskipun begitu, capaian ini meningkat secara signifikan dibandingkan dengan capaian pada masa pemerintahan sebelum-sebelumnya.

Salah satu faktor yang menjadi penentu rendahnya capaian tersebut adalah terbatasnya alokasi anggaran.  Sebuah kajian menyatakan bahwa dengan asumsi anggaran ideal Rp 327 ribu per hektar, maka dibutuhkan alokasi anggaran sebanyak 4.5 trilyun rupiah untuk 5 tahun anggaran atau Rp 830,5 miliar per tahun. Faktanya, dalam periode tanun 2015 - 2017 alokasi anggaran rata-rata untuk penyiapan areal perhutanan sosial hanya sebesar Rp 38,76 miliar per tahun (Salam, R. et.al, 2018). 

Kemitraan Konservasi

Salah satu skema perhutanan sosial yang  pada saat ini masih kental nuansa pro dan kontra, yaitu  kemitraan kehutanan di kawasan konservasi atau Kemitraan Konservasi. Peraturan Menteri LHK No.83/2016 tentang Perhutanan Sosial telah mengamanatkan pada pasal 49 ayat (2), bahwa ketentuan teknis kemitraan kehutanan di kawasan konservasi diatur oleh Direktur Jenderal yang membidangi Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).  Petunjuk teknis tentang kemitraan konservasi telah diterbitkan, yaitu Peraturan Dirjen KSDAE Nomor 6 Tahun 2018 Juncto Nomor 2 Tahun 2019.

Dalam sebuah pidatonya, Direktur Jenderal KSDAE Wiratno pernah mengutip pernyataan seorang rimbawan senior Profesor Djoko Marsono, bahwa “Kawasan Konservasi sering hanya dimaksudkan sebagai benteng terhadap pengawetan dan pemanfaatan flora fauna, mengabaikan aspek ekosistem, sehingga mengingkari peran kawasan tersebut sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan seperti penahan banjir, sumber air bagi kehidupan dan lain-lain.” 

Pernyataan tersebut semakin meneguhkan suatu pandangan bahwa ke depan, dalam pengurusan hutan Indonesia, sudah seharusnya didasarkan pada seluruh aspek “ekosistem” atau perannya sebagai “penyangga kehidupan”, dan tentu saja termasuk “nasib kehidupan manusia”  di dalamnya. Inilah sebenarnya yang disebut sebagai deep ecology dan berbeda dengan konsep shallow ecology yang melahirkan sikap mental antroposentrisme (Wiratno, 2017).

Fakta-fakta terbaru tentang kondisi kawasan konservasi di Indonesia perlu diungkapkan setelah 37 tahun sejak dimulainya penunjukan lima taman nasional pertama pada  tahun 1980. Dalam jangka waktu hampir empat dasa warsa tersebut, tentu telah terjadi perubahan geopolitik, sosial, ekonomi dan dinamika pembangunan yang luar biasa. 

Indonesia memiliki kawasan konservasi yang tersebar di seluruh wilayah provinsi, sebanyak 556 unit dengan luas mencapai 27,14 juta hektar, dimana seluas 5,32 juta hektar merupakan kawasan konservasi perairan. Berdasarkan kajian dari Direktorat PIKA dan Direktorat Kawasan Konservasi telah diidentifikasi sebanyak 6.381 desa berada di sekitar kawasan konservasi, terdapat areal terbuka (open area) seluas lebih kurang 2,2 juta hektar atau 9,95% dari total 22.108.630 hektar luas kawasan konservasi daratan. Areal terbuka yang berupa perambahan, biasanya berupa perkebunan sawit, kopi, coklat, karet atau untuk pertanian lahan kering, akibat illegal loging, kebakaran dan penambangan liar (Wiratno, 2018).

Saat ini juga ada usulan wilayah adat yang berada di kawasan konservasi, seperti di kawasan Taman Nasional Betung Karihun dan Danau Sentarum, kawasan Taman Nasional Sebangau dan kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Baru-baru ini saya juga menemukan fakta-fakta di lapangan, seperti tuntutan penyelesaian melalui reforma agraria atau pelepasan dari kawasan konservasi di Tahura Bontobahari kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan dan di Taman Nasional Baluran kabupaten Situbondo Jawa Timur.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dirjen KSDAE menegaskan bahwa tidak ada formula tunggal dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi pengelola kawasan konservasi, baik untuk kepentingan jangka pendek maupun jangka panjang. Penyelesaian persoalan perambahan akibat kemiskinan tidak dapat ditempuh melalui penegakan hukum dan harus dicari cara lain yang lebih tepat dan dapat diterima oleh masyarakat. Penegakan hukum disarankan hanya ditujukan pada aktor intelektual yang selalu memanfaatkan masyarakat miskin yang terpaksa atau dipaksa menggarap lahan di dalam kawasan konservasi. 

Lemahnya penegakan hukum terhadap para aktor pelanggar kerusakan hutan, termasuk sering terindikasi adanya keterlibatan oknum-oknum aparat telah memicu munculnya bandit-bandit sosial (social banditary) di tengah masyarakat (Awang, S. 2003).

Gambaran situasi dan fakta-fakta di atas memberikan catatan penting, bahwa ada tantangan besar dalam implementasi kemitraan konservasi dan perlu terus dilakukan sosialisasi dan dialog bersama  berbagai pihak pemangku kepentingan di sekitar kawasan konservasi.

Tantangan besar terkait dengan tuntutan reforma agraria di kawasan konservasi adalah ketentuan tentang pola penyelesaian permasalaham penguasaan lahan di kawasan yang ditunjuk  sebagai kawasan hutan dengan fungsi konservasi melalui resletement. Contoh temuan permasalahan pengusaan lahan yang ditemui penulis di kawasan Tahura Bontobahari kabupaten Bulukumba dan di Taman Nasional Baluran kabupaten Situbondo akan menemui jalan buntu bila pola penyelesaiannya melalui resletement atau pemindahan penduduk. 

Situasi ini  juga telah berimplikasi dalam proses penyiapan pelaksanaan kemitraan konservasi. Salah satu pilihan penyelesaian yang memungkinkan pada saat ini adalah melakukan perubahan penataan zonasi atau blok kawasan konservasi. Tentu saja pilihan penyelesaian ini tetap masih perlu menghormati langkah-langkah penyelesaiannya lainnya yang sesuai dengan koridor peraturan perundangan yang berlaku atau ada kemungkinan adanya penyelesaian melalui “diskresi.”
Selain itu, dari proses pengawalan penulis terhadap implementasi kemitraan konservasi di tingkat tapak termasuk didalamnya proses penyusunan kebijakan kebijakan operasional atau pedoman teknis, ada beberapa catatan penting sebagai saran perbaikan ke depan.  

Pertama, perlu dilakukan harmonisasi persepsi antar Eselon di KLHK, terutama Ditjen PSKL dan Ditjen KSDAE) terkait format perhutanan sosial melalui kemitraan konservasi. Masih ada perbedaan persepsi tentang persetujuan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan  SK Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK), termasuk  di dalamnya mengenai perbedaan periode/waktu kerja sama.
Kedua, ada dialog bersama para pihak pemangku kepentingan di tingkat tapak atau di daerah secara simultan dan berkesinambungan, hingga terwujud kesepakatan dari proses dialog yang murni (genuine) dan bebas dari unsur pemaksaan.
Ketiga, ada peran-peran para pihak terkait pembinaan, pengendalian dan pendampingan masyarakat pasca penandatangan perjanjian kerjasama atau penerbitan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan, agar kemitraan konservasi terhindarkan dari praktik-praktik yang menyimpang.

Referensi:
Awang, S. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Center for Critical Social Studies (CCSS) & Kreasi Wacana Yogyakarta.
Kartodihardjo, K. 2013. Kembali ke Jalan Lurus. Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. FORCT Development Press. Bogor Agricultural University.
Salam, R. et. al. 2018. Revitalisasi Kebijakan Anggaran untuk Percepatan Realisasi Perhutanan Sosial di Indonesia. Indonesia Budget Center.
Santoso, H. 2017. “Negara dan Sindrom Otak Kiri.” Ulasan Buku Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed, karya James Scott. Wacana 36: 199-211.
Wiratno, 2017.  Perebutan Ruang Kelola: Refleksi Perjuangan dan Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Pidato Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM ke 54. Ditjen KSDAE.
Wiratno, 2018. Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Membangun “Organisasi Pembelajar.” Ditjen KSDAE.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas tentang Penganugerahan Satyalancana Wira Karya

Wanatani Repong Damar : Pengelolaan Alam Lestari ala Krui – Lampung

Dendang Sunyi Kidung Hati