KHDPK dalam pembaruan tata kelola hutan di pulau Jawa.
Oleh Suwito, TP3PS (Tim Penggerak Percepatan Pengelolaan PS).
Akhir-akhir ini tata kelola hutan di pulau Jawa kembali santer menjadi sorotan. Komisi IV DPR juga telah memberikan ruang kepada kelompok masyarakat yang memiliki kekhawatiran terhadap kebijakan baru yang diterbitkan oleh Menteri LHK. Kebijakan baru tersebut yaitu Keputusan Menteri LHK Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) Pada Sebagian Hutan Negara yang Berada Pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten. Keputusan KHDPK ini ditetapkan pada tanggal 5 April 2022.
"Ada implikasi dari penetapan kebijakan KHDPK tersebut, tak terkecuali terhadap karyawan Perhutani. Tapi sisi positifnya, kami menjadi lebih fokus ke bisnis dan mampu mengoptimalkan berbagai sumberdaya termasuk karyawan." Demikian pernyataan Direktur Utama Perhutani Wahyu Kuncoro dalam siaran pers pada hari Kamis, 14 April 2022 (https://www.perhutani.co.id/tag/khdpk/). Respon positif Direksi Perum Perhutani ini sepatutnya didukung oleh jajarannya dalam mempersiapkan tata kelola hutan yang baru. Kekhawatiran yang berkembang bisa menjadi cambuk untuk mengantisipasi peluang munculnya dampak negatif.
Saya memandang kebijakan KHDPK berpotensi mengatasi berbagai permasalahan tata kelola hutan di pulau Jawa yang sudah berjalan puluhan tahun. Sebagaimana telah dimandatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 Tahun 2021 (Pasal 112), Keputusan Menteri LHK tentang KHDPK ini diorientasikan untuk kepentingan: (1) Perhutanan Sosial; (2) Penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan; (3) Penggunaan kawasan hutan; (4) Rehabilitasi hutan; (5) Perlindungan hutan; (6) Pemanfaatan Jasa Lingkungan.
Berikut catatan saya terkait 2 orientasi kepentingan yang sesuai dengan bidang yang saya tekuni selama ini, yaitu (1) Perhutanan Sosial dan (2) Penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan.
(1) Perhutanan Sosial
Bentuk (skema) Perhutanan Sosial yang berkembang dalam kawasan hutan negara di pulau Jawa sebelum terbitnya KHDPK, yaitu Kemitraan Kehutanan yang kemudian dikenal dengan Kulin KK (Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan) dan IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial), selain juga ada Hutan Adat dan Kemitraan Konservasi.
Sebagian kecil pelaksanaan PS di pulau Jawa telah berjalan dengan baik, namun sebagian besar masih banyak menghadapi persoalan. Pada skema Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) permasalahan yang sering ditemukan di lapangan yaitu tekait dengan belum memahaminya atau keengganan pihak Perhutani di tingkat tapak untuk melaksanakan program Perhutanan Sosial. Salah satu diantaranya, Pihak Perhutani masih memandang perlunya menerapkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang diterapkan pada era PHBM. PKS ala PHBM itu pada umumnya diperbarui pada setiap 2 tahun. Sementara itu, aturan dalam Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) cukup mengacu pada NKK (Naskah Kesepakatan Kerjasama) yang dalam pelaksanaannya tidak harus diperbarui setiap 2 tahun.
Sedangkan pada skema IPHPS, fenomena permasalahan yang dijumpai di tingkat tapak lebih tajam lagi. Kelompok Tani Hutan (KTH) pemegang SK IPHPS sering menghadapi resistensi dari aktor-aktor lain yang kepentingannya terganggu oleh terbitnya IPHPS. Diantaranya ada kasus pembabatan tanaman budidaya di areal IPHPS oleh pihak lain, sehingga berpotensi timbulnya konflik yang lebih tajam dan merugikan petani anggota KTH.
Dengan terbitnya KHDPK, areal kerja Perhutanan Sosial akan terpisah dari wilayah kerja Perum Perhutani. Sebagaimana dinyatakan dalam PP 23 Tahun 2021 Pasal 112 ayat (2), bahwa penetapan KHDPK dilakukan pada areal yang tidak dilimpahkan pengelolaannya pada badan usaha milik negara bidang kehutanan pada sebagian Hutan Negara yang berada pada kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di provinsi Jawa Tengah, provinsi Jawa Timur, provinsi Jawa Barat, dan provinsi Banten.
(2) Penataan Kawasan Hutan dalam rangka pengukuhan Kawasan Hutan
Salah satu problematika tata kelola hutan di Indonesia yaitu adanya desa-desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Pada desa-desa tersebut tentu saja ada bangunan-bangunan permanen, baik rumah, perkantoran, gedung sekolah dan fasum fasos lainnya. Bisa jadi keberadaan bangunan permanen di desa-desa tersebut sudah ada sejak belum dilakukan penunjukan kawasan hutan. Atau mungkin ada desa-desa baru di dalam kawasan hutan yang penetapannya dilakukan berdasarkan register sejak era penjajahan Belanda (baca: Cerita dari dusun Sugihwaras di dalam wilayah kerja Perhutani KPH Banyuwangi Barat). Atau juga desa-desa baru yang dibangun berdasarkan program pemerintah, seperti desa-desa Transmigrasi yang arealnya berasal dari kawasan hutan.
Penyelesaian permasalahan desa-desa dalam kawasan hutan di pulau Jawa selama ini luput dari agenda Reforma Agraria. Sehingga kebijakan KHDPK berpotensi menyelesaikan permasalahan tata kelola hutan di pulau Jawa yang telah berjalan puluhan tahun dengan adanya sengketa agraria terkait dengan desa-desa di dalam kawasan hutan. Penataan kawasan hutan dalam KHDPK ini memberikan peluang untuk menata kembali areal kawasan hutan yang sudah puluhan tahun berupa bangunan rumah permanen, kantor, gedung sekolah dan fasuk fasos lainnya untuk dikeluarkan dari batas kawasan hutan. Sedangkan lahan-lahan garapan masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan dapat dipertahankan melalui program Perhutanan Sosial.
Cerita dusun Sugihwaras di wilayah Perhutani KPH Banyuwangi Barat.
Secara administratif, dusun Sugihwaras berada di desa Bumiharjo (pemekaran dari desa Sumberwadung/Sumbergondo), kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi. Saya lahir di Sugihwaras pada tahun 1962 dari keluarga petani penggarap lahan hutan (magersaren). Pada masa kecil saya sering ikut ke lahan garapan yang biasa disebut “babatan.” Masih terpatri dalam ingatan saya pada lahan kebun itu terdapat pohon pinus yang tingginya bervariasi antara sekitar 1 – 2 meter, dan di sela-sela pinus itulah ayah ibu membudidayakan jagung, kacang tanah, talas, cabe rawit, kara, dan singkong.
Selain
menggarap lahan hutan, ayah juga mencari bambu hutan yang diolah menjadi
anyaman “gedhek”. Gedhek itu kemudian dijual keliling kampung untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga pada saat tidak memetik hasil dari lahan garapan. Kadang-kadang juga menjual bambu dalam
bentuk potongan dan belahan yang umumnya digunakan sebagai klakah atau atap
rumah berbahan bambu. Atap rumah dengan bahan bambu atau klakah ini lazim digunakan
bagi keluarga tidak mampu, termasuk rumah keluarga orang tua kami.
Nasib
naas pernah dialami oleh ayah ketika membawa bambu satu gerobak
dorong. Bambu itu akan diantarkan ke tempat saudara yang akan membangun rumah
di desa yang berada di luar dusun Sugihwaras. Ayah tertangkap Polisi
hutan dan kemudian dipenjarakan selama 4 bulan. Peristiwa itu terjadi pada
tahun 1973, ketika saya kelas 3 SD.
Peristiwa
itulah yang kemudian terpatri dalam memori dan memberikan inspirasi dalam
menjalani derap langkah di kemudian hari. Hingga saya
mendapatkan kesempatan untuk bergelut bersama masyarakat petani hutan di
desa-desa lain. Lalu berkecimpung dalam penanganan permasalahan penguasaan tanah di kawasan hutan (Working Group on Forestland Tenure) dan berlanjut dalam
kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan dalam program Perhutanan Sosial.
Singkat
cerita, ada putra guru SD kami yang berkonsultasi tentang adanya hambatan dari
Perhutani ketika ayahnya mengurus sertifikat tanah melalui PRONA. Sehubungan
saya mengenal salah satu mantan Administratur (ADM) Perhutani KPH Banyuwangi
Barat, maka saya berusaha mencari tahu tentang hal itu. Mantan ADM KPH
Banyuwangi Barat tersebut memberi tahu bahwa lokasi dusun Sugihwaras itu masuk
dalam kawasan hutan sejak zaman Belanda (tahun 1930-an).
Berdasarkan
informasi dari ADM tersebut, kemudian saya mencari tahu tentang riwayat “babat
alas” yang kemudian menjadi dusun Sugihwaras. Pakde Sudiman (98 tahun) bercerita,
bahwa asal usul babat alas Sugihwaras itu bermula dari perintah penguasa pada
saat itu, yaitu Jepang (tahun 1942). Jepang memerintah warga untuk membuka
hutan untuk membuat sawah dan kebun. Bagi warga yang menolak, maka akan
dikenakan sanksi dalam bentuk dieksekusi.
Berdasarkan
cerita Pakde Sudiman itu, saya berkunjung ke rumah Pak Khosim dan Pak Matasan
yang juga mantan guru SD kami. Mereka berdua membenarkan cerita Pakde Sudiman.
Salah satu bukti penataan dusun yang masih ada pada saat ini, yaitu adanya
perempatan jalan. Bisa ditemukan perempatan di sepanjang jalan di dusun
Sugihwaras dalam jarak sekitar 300 – 500 meter. Pak Khosim (76 tahun) dan Pak Matasan
(95 tahun) telah meninggal dunia pada tahun 2021.
Di desa
Bumiharjo (termasuk dusun Sugihwaras) telah terbit SK Kulin KK (Kemitraan
Kehutanan) Nomor: SK.1726/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/3/2019 seluas 1.475,39 hektar.
Dari areal Kulin KK tersebut sebagian telah berupa bangunan rumah, kantor,
sekolah dan sawah-sawah dengan luasan sekitar 570 hektar (Antonius Wiyono,
Sekretaris LMDH Sobowono, desa Bumiharjo).
Terima kasih yang sebesar-besarnya ya mas atas pemikiran, masukan, usaha dan bantuan yang telah mas WITO berikan kepada kami lmdh sobowono masyarakat bumiharjo khususnya dan seluruh Indonesia pada umumnya semoga Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk mas WITO sekeluarga.........
BalasHapus